Para ekonom mengatakan satu faktor yang menguntungkan Asia-Pasifik adalah perubahan kebijakan moneter yang lebih lunak, dengan bank sentral di Australia, Korea Selatan, Indonesia, dan India menjadi beberapa yang menghentikan siklus pengetatan.
China dengan pelonggaran kebijakan moneter dan pembukaan kembali pasca penurunan angka pandemi Covid-19, menjadi daya tarik utama bagi para investor.
Hal tersebut tercermin dari aliran dana US$ 5,5 miliar yang masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang selama empat minggu terakhir, hingga akhir Maret. Dengan Asia sebagai peraih aliran dana tertinggi, sebagaimana Berdasarkan data TD Securities yang mengutip data EPFR Global.
Lebih dari 70% dari dana tersebut masuk ke negaraChina. Pada saat yang sama, pasar keuangan negara-negara maju mengalami net outflow sebesar US$ 8,6 miliar, dengan pasar AS yang paling terdampak.
“Para investor masih melihat pasar berkembang Asia sebagai wilayah yang mungkin paling disukai, baru disusul Eropa dan mungkin AS. Jika Anda berpikir The Fed akan menunda kenaikan suku bunga, hal tersebut akan mendorong aliran modal ke kembali ke pasar berkembang Asia,” kata David Chao, Ahli Strategi Pasar Global untuk Asia-Pasifik Invesco Asset Management pada Bloomberg Radio pada 4 April 2023.
Akhir dari siklus kenaikan The Fed, di tengah risiko kestabilan keuangan dan menurunnya permintaan, dapat membantu Asia meredakan tekanan dari dolar, dan mengurangi mengurangi daya tarik greenback sebagai safe haven.
Minggu ini, Asian Development Bank (ADB) mengatakan bahwa ekonomi berkembang Asia yang dipimpin oleh China berada di jalur pertumbuhan yang lebih cepat. Tren inflasi juga akan lebih lambat pada 2023 dan 2024. Sementara prospek global yang lebih kelam.
Kepala Ekonomi HSBC Holdings Plc di Hong Kong, Frederic Neumann, mengatakan pemulihan China diperkirakan akan menyebar ke seluruh kawasan. Ini didorong oleh diversifikasi rantai pasok, booming komoditas dan rendahnya pertumbuhan utang yang berlebih.
Chua memproyeksikan bahwa Hong Kong dan Thailand akan mendapat keuntungan dari pembukaan kembali China. Juga ada India dan Filipina, yang perekonomiannya didorong oleh layanan domestik, terlihat lebih resilien terhadap guncangan pertumbuhan global.
Sementara, dampak ekonomi ke negara-negara seperti Singapura,Vietnam, Korea Selatan, Malaysia, dan Taiwan, tergolong kecil karena mereka lebih rentan. Gejolak perbankan dapat berarti pula dana teknologi Asia yang diinvestasikan di AS telah mulai kembali.
“Di Asia, menurut saya, Singapura akan menjadi penerima manfaat paling besar. Singapura memiliki regulasi dan format perbankan yang kuat. Hal ini menjadikan kepercayaan diri dari pemimpin teknologi dan kripto di kawasan,” kata Prashant Newnaha, Ahli Strategi Makro TD Securities.
Meskipun demikian, menurut Chao, masih terdapat sejumlah risiko. Kesuraman pabrik data yang terjadi di China baru-baru ini mengurangi kepercayaan investor terhadap pemulihan negara tersebut.
Selain itu, memburuknya hubungan China dan AS, membuat potensi risiko dari investasi di Hong Kong dan Taiwan meningkat. Jadi, Asia tidak sepenuhnya imun terhadap ketidakstabilan keuangan yang menyebar dari AS.
“Prospeknya tergantung pada kestabilan di Eropa dan Amerika Utara. Jika ada gejolak yang sedang terjadi, hal itu akan menyebar ke Asia juga,” kata Jonathan Kearns, Kepala Ekonom Challenger Ltd dan mantan pejabat Bank Sentral Australia.
- Dengan asistensi Garfield Reynolds dan Bonnie Au.
(bbn)