Sebab, menaikan PPN merupakan ‘jalan pintas' yang diambil pemerintah untuk menaikan penerimaan negara dalam rangka memenuhi kebutuhan belanja pemerintah.
Dengan demikian, apabila kebijakan tersebut ditunda dapat membuat tidak seimbangnya penerimaan dan belanja yang dikeluarkan pemerintah dan pada akhirnya berdampak pada defisit anggaran.
“Kalau menurut saya wajib lah ditunda. Ini kan pertanyaannya itu tadi defisitnya tambah lebar. Karena PPN paling gampang [kerek penerimaan negara],” kata Faisal Basri.
Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 bertujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara. Ini terutama sesudah kenaikan belanja pemerintah yang cukup besar saat era pandemi Covid-19.
Sri Mulyani menyebut bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun mendatang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan yang mengatur besaran PPN menjadi 11% pada 2022 dan 12% pada 2025.
Terkait itu, ia menegaskan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut merupakan hak pemerintah baru, yang merupakan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
“Jadi dalam hal ini kami memahami kondisi, dan tentu nanti akan ditetapkan berdasarkan di satu sisi keinginan menjaga perekonomian kita, pertumbuhan, dan momentumnya tetap bisa dijaga,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengan DPD RI, Selasa (11/6/2024).
“Di sisi lain, tentu juga ada kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama sesudah kenaikan belanja yang sangat besar pada saat pandemi,” lanjutnya.
(azr/lav)