Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga sedang memperbaiki integrasi sistem dan aplikasi digital prioritas melalui implementasi Goverment Technology (Govtech) untuk kebutuhan masyarakat.
"Masa ada sampai sekian banyak perusahaan yang NPWP (nomor pokok wajib pajak) saja tidak punya. kalau NPWP tidak punya kan terus PPh badan semua jadi tidak bisa ditagih. Nah ini yang sekarang kami mau bereskan, makanya Govtech itu menjadi isu pemerintah," papar Luhut.
Luhut menilai penerimaan negara tidak boleh bergantung pada harga komoditas saja. Menurut dia, efisiensi menjadi hal yang penting, terutama dalam hal pemanfaatan teknologi digital tersebut.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan penerimaan negara dari pajak dan bea cukai tahun ini tidak akan mencapai target. Namun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan lebih dari target.
Pada Senin (8/7/2024), Sri Mulyani menyebut Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan pajak hingga akhir 2024 senilai Rp 1.921,9 triliun. Naik 2,9% dibandingkan 2023, tetapi hanya 96,6% dari target APBN 2024.
"Outlook penerimaan pajak dipengaruhi antara lain oleh perekonomian nasional yang terjaga, efektivitas implementasi kebijakan dan pengawasan kepatuhan, serta penerimaan pajak semester II diperkirakan lebih tinggi dibandingkan semester I," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR.
Sementara penerimaan kepabeanan dan cukai, lanjut Sri Mulyani, diperkirakan mencapai Rp 296,5 triliun pada 2024. Naik 3,5% dari 2023, tetapi hanya 92,4% dari target.
"Dipengaruhi antara lain downtrading ke golongan rokok yang lebih murah, upaya pengawasan dan penindakan Barang Kena Cukai Ilegal, serta harga komoditas CPO dan relaksasi ekspor mineral," kata Sri Mulyani.
Namun, PNBP sepanjang 2024 diperkirakan mencapai Rp 549,1 triliun. Walau turun 10,4% tetapi 111% dari target APBN 2024.
"Sebab, tahun lalu penerimaan PNBP memang tumbuh sangat sangat sangat tinggi," ujarnya.
(lav)