Beberapa bank sempat mengeluhkan bahwa mereka terpaksa banyak menolak permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diajukan oleh calon debitur.
"Saat ini sudah ada 30% permintaan KPR subsidi yang tidak bisa diakadkan karena [ada tunggakan] pinjol," kata Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu dalam rapat bersama DPR-RI, awal pekan ini, dilansir dari kanal Youtube parlemen.
Salah satu penyebabnya adalah calon debitur memiliki tunggakan paylater atau pinjaman online lain yang membuat skor kredit mereka buruk. Meski nilai tunggakan terbilang 'receh', baru ratusan ribu rupiah misalnya, kelayakan mereka mendapatkan pinjaman menjadi diragukan oleh kreditur.
"Kami salurkan KPR subsidi kadang tidak bisa karena pinjol itu masuk SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan]. Itu tidak bisa kita lawan. Dia kolektibilitas juga ada, kalau macet tidak lihat jumlah karena itu menyangkut.. itu istilah perbankannya 'kena karakter'," jelas Nixon.
Dalam laporan terakhir Otoritas Jasa Keuangan, awal pekan ini, tercatat nilai pinjol tersalur sampai akhir Mei 2024 mencapai Rp64,56 triliun, tumbuh 25,4% year-on-year. Dari angka itu, sebanyak 2,91% termasuk kategori pinjol macet.
Rasio pinjol macet pada Mei naik dibanding April yang sebesar 2,79%. Sementara bila menghitung seluruh pinjol bermasalah, termasuk pinjol menunggak 30-90 hari, persentasenya mencapai 9,5% pada April dengan nominal total Rp6 triliun. Dari total pinjol bermasalah itu, sebesar Rp5,4 triliun dicatat oleh nasabah perorangan.
Bagaimana dengan paylater? OJK mencatat, sampai akhir Mei lalu, nilai penyaluran pinjaman melalui skema paylater mencapai Rp6,81 triliun, tumbuh 33,6%.
Rasio paylater bermasalah juga tercatat semakin besar yaitu dari 3,15% pada April menjadi 3,22% pada bulan berikutnya secara gross. Rasio nett mencatat kenaikan lebih besar yaitu hingga 0,84% dari tadinya 0,59% pada April.
Bunga Diturunkan
Pihak otoritas baru-baru ini memperketat tata cara penagihan dan menurunkan batas atas bunga pinjol yang boleh dikenakan.
Melalui Surat Edaran (SE) OJK 19/SEOJK.06/2023, OJK membatasi bunga pinjol untuk keperluan produktif menjadi maksimal 0,1% per hari atau 3% per bulan, berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2024. Pada 2026, batas atas kembali diturunkan sebesar 0,067% per hari atau 2,01% per bulan.
Adapun untuk pinjol keperluan konsumtif, yang menjadi jenis pinjol terbesar tersalur saat ini, ditetapkan batas atas bunga pinjol maksimal 0,3% per hari atau 9% per bulan untuk tahun ini. Batas itu diturunkan jadi 0,2% per hari atau 6% per bulan berlaku mulai awal tahun depan, kemudian turun lagi jadi 0,1% per hari atau 3% per bulan pada awal 2026.
OJK juga menurunkan batas denda keterlambatan pembayaran pinjol yakni menjadi maksimal 0,3%-0,1% per hari berlaku bertahap mulai tahun ini hingga 2026.
"Seluruh manfaat ekonomi [bunga] dan denda keterlambatan yang bisa dikenakan pada pengguna tidak melebihi 100% nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian pendanaan," jelas OJK.
Perlu Lebih Ketat
Aturan baru itu layak diapresiasi sebagai respon atas fenomena pinjol dan paylater yang sudah memakan banyak korban beberapa waktu lalu.
Hanya saja, regulasi tersebut sejauh ini belum menyentuh etika penawaran pinjol atau paylater yang sampai hari ini sangat leluasa menginfiltrasi ruang-ruang pribadi masyarakat. Baik melalui pesan pendek (SMS), iklan di media sosial, memakai jasa influencer medsos dan berbagai medium lain.
Gempuran iklan pinjol di media sosial tidak ada batasan sejauh ini. Diksi "dana cepat", "uang tunai instan", "dana tunai langsung cair", "pinjaman murah hanya 0,3% per hari" dan lain-lain menjadi kata kunci yang terus didengungkan lewat iklan-iklan di media sosial seperti Youtube, Twitter atau X, Facebook juga Google Ads.
Kendati batas atas bunga telah diturunkan jadi 9% per bulan, itu masih sangat tinggi dibanding bunga kartu kredit, pinjaman termahal di perbankan saat ini yang 'hanya' 1,75% per bulan.
Membiarkan paparan tawaran pinjol semakin massif di tengah literasi finansial masyarakat yang masih rendah, serta tingkat kemiskinan dan ketimpangan tinggi, dapat menjadi bumerang yang menurunkan kualitas keuangan masyarakat. Bahkan bisa melahirkan kemiskinan-kemiskinan baru akibat utang.
Terlebih di tengah situasi ekonomi yang cenderung lesu saat ini akibat lapangan kerja yang makin sempit, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kian banyak ketika harga kebutuhan barang masih tinggi. Belum lagi bila menyoal eksposur judi online yang makin banyak menjebak rumah tangga berpendapatan rendah.
Lebih khusus bila melihat risiko pada nasabah usia produktif. Bagi kalangan usia muda, paparan terhadap paylater atau pinjol bisa menjebak mereka dalam situasi keuangan yang buruk ke depan.
Catatan Pefindo Biro Kredit, seperti dilansir oleh media lokal, mencatat ada 13,4 juta orang di Indonesia yang berutang memakai paylater sampai akhir tahun lalu.
Pengguna paylater usia produktif mendominasi terdiri atas 6,99 juta debitur termasuk kalangan milenial (usia 43-28 tahun) dan Gen Z (usia di bawah 27 tahun) sebanyak 4,59 juta debitur. Sementara debitur dari Gen X yang tahun ini berusia antara 44-59 tahun mencapai 1,62 juta debitur.
Paylater macet terbanyak juga ‘disumbang’ oleh kalangan milenial, mencapai Rp1,27 triliun dari total paylater macet senilai Rp2,12 triliun pada Desember. Gen Z juga memiliki paylater macet sebesar Rp460 miliar menurut data Pefindo. Skor kredit yang memburuk karena tunggakan pinjol atau paylater akan membatasi akses nasabah muda itu pada KPR atau kredit perbankan lain.
Padahal nasabah muda akan menjadi andalan baru bank ke depan dalam menggenjot pertumbuhan kredit ke depan, seiring bonus demografi yang makin terbatas.
Sejauh ini, laju pertumbuhan KPR juga KPA memang masih positif di mana per Mei 2024, tumbuh 14,3%, naik sedikit dibanding April 14,2%. Sementara kredit konstruksi masih kontraksi -1,1% pada saat yang sama.
Hasil riset yang digelar peneliti di China "The rise of digital finance: Financial inclusion or debt trap?" yang dipublikasi pada Juni 2022, mencatat, perluasan akses terhadap keuangan digital memang meningkatkan partisipasi pasar kredit.
Namun, kemudahan akses itu juga meningkatkan risiko rumah tangga terjebak perangkap utang dan kesulitan keuangan lebih besar. "Penelitan menunjukkan bahwa literasi keuangan rumah tangga rendah dan rumah tangga yang buta finansial tidak menyadari konsekuensi dari pilihan mereka terhadap utang," demikian ditulis oleh riset tersebut.
Indonesia memiliki profil mirip dengan China di mana tingkat literasi finansial masih rendah yaitu di bawah 50% di tengah penetrasi internet yang terus meningkat, hampir 80% dari total populasi.
Peningkatan literasi keuangan saja tidak cukup untuk mencegah persoalan yang timbul akibat pinjaman online. Ada hubungan erat antara kurangnya pengendalian diri dan buta huruf finansial dengan tidak terbayarnya pinjaman dan laporan terkait beban utang yang berlebihan.
"Sehingga, meskipun literasi keuangan dapat ditingkatkan melalui pendidikan keuangan, individu tidak dapat dididik mengenai pengendalian diri. Maka itu, pembuat kebijakan perlu membatasi kredit yang tersedia dengan melakukan pengendalian berdasarkan tujuan pinjaman," demikian saran dari hasil riset.
- update penambahan penjelasan Direktur Utama BTN.
(rui/aji)