Logo Bloomberg Technoz

Pemicunya adalah libur bersama Iduladha dan periode liburan sekolah diasumsikan mendorong belanja masyarakat, terlebih dengan kedatangan tahun ajaran baru sekolah.

Meski ada secercah indikasi yang positif, Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan kuartal II-2024, kinerja penjualan ritel melambat dengan capaian pertumbuhan hanya 1,3% setelah pada kuartal sebelumnya naik 5,6% karena sumbangan belanja Ramadan.

Sementara sumbangan belanja Lebaran pada kinerja kuartal II-2024 tidak terlalu banyak. Ini karena penjualan ritel saat bulan Lebaran yang jatuh pada April justru mencatat kontraksi secara tahunan, dengan pertumbuhan bulanan hanya 0,4%. Itu menjadi kontraksi pertama penjualan ritel di bulan Lebaran setelah era pandemi Covid-19 berlalu. 

Para peritel harus memutar strategi lebih jitu agar minimnya daya ungkit belanja masyarakat kala keyakinan konsumen turun, tidak semakin menyeret target penjualan pada bulan-bulan ke depan.

Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Barat, Minggu (14/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Hasil survei memprediksi, penjualan ritel pada Agustus masih akan positif dengan Indeks Ekspektasi Penjualan naik dari 137,2 menjadi 158,8. Kedatangan event HUT Kemerdekaan pada bulan tersebut akan dimanfaatkan para peritel menggelar diskon yang diharapkan bisa mendorong minat belanja konsumen.

Sedangkan pada November, penjualan ritel diperkirakan tumbuh tipis dengan Indeks Ekspektasi Penjualan hanya naik sedikit dari 143,7 menjadi 146,1. 

Strategi menggelar diskon dengan menurunkan harga demi mengerek penjualan itu, juga mempengaruhi ekspektasi harga ke depan.

Survei mencatat, tekanan inflasi tiga bulan ke depan yaitu pada Agustus, diperkirakan turun. "Penurunan didorong oleh strategi potongan harga pada event HUT Kemerdekaan," jelas BI. 

Sedangkan perkiraan harga pada November, diperkirakan meningkat. Hasil survei tidak menjelaskan penyebab prediksi kenaikan tersebut.

Deflasi Berlanjut?

Langkah peritel memangkas harga jual agar dapat mempertahankan penjualan ketika animo belanja masyarakat lesu, mungkin akan kembali berimbas pada terjadinya deflasi pada bulan-bulan mendatang.

Pada Mei dan Juni, Indonesia berturut-turut mencatat deflasi masing-masing sebesar 0,03% dan 0,08%. Badan Pusat Statistik mencatat, penyumbang deflasi pada Juni adalah kelompok makanan dan minuman serta tembakau dengan andil pada deflasi mencapai 0,14%.

Sedangkan pada kelompok bahan makanan yang mencatat inflasi 5,11% year-on-year pada Juni lalu, membukukan deflasi bulanan sebesar 0,78%. Bahan makanan ini memberikan sumbangan deflasi bulanan sebesar 0,16%.

Presiden Joko Widodo mengunjungi pasar tradisional (Sekretariat Presiden)

Namun, deflasi dua bulan berturut-turut ini menurut BPS tidak bisa dilihat semata sebagai sinyal pelemahan daya beli. Meski pada Juni lalu, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator permintaan dalam ekonomi tercatat turun ke 1,90% dibanding bulan sebelumnya 1,93%.

"Bicara daya beli lebih pas memakai ukuran tahunan [year-o-year]. Kita sedang mengeliminasi faktor musiman sehingga kita bisa melihat besaran daya beli," jelas Plt Sekretaris Utama BPS Imam Machdi.

Ekonom Universitas Indonesia Teguh Dartanto menilai, deflasi dalam dua bulan berturut-turut perlu dicermati karena bisa jadi merupakan sinyal kelesuan permintaan barang dan jasa di masyarakat. Alarm lebih keras akan menyala apabila deflasi berlanjut pada Juli, ketika belanja masyarakat secara musiman biasanya lebih tinggi karena liburan sekolah dan persiapan tahun ajaran baru. 

Kita perlu melihat kondisi Juli di mana merupakan musim liburan dan tahun ajaran baru yang dapat mendorong permintaan dalam perekonomian. Jika masih deflasi, maka pemerintah harus segera mengambil langkah cepat.

Teguh Dartanto, Ekonom LPEM Universitas Indonesia

"Kita perlu melihat kondisi Juli di mana merupakan musim liburan dan tahun ajaran baru yang dapat mendorong permintaan dalam perekonomian. Jika masih deflasi, maka pemerintah harus segera mengambil langkah cepat," kata Teguh.

Bila menilik data historis, terakhir kali Indonesia mencatat deflasi berturut-turut adalah pada saat pandemi Covid-19 masih merajalela pada 2020. Deflasi berturut-turut terakhir terjadi pada Juli-September 2020 silam.

Bulan-bulan itu, perekonomian domestik bisa dibilang mati suri akibat social distancing demi menghambat penyebaran virus Covid-19.

Dampak 'Omnibus Law'?

Belanja masyarakat yang disinyalir lesu bukan hanya karena terlibas inflasi harga beras dan kebutuhan dapur yang setahun terakhir naik begitu tajam.

Ada indikasi, konsumen pekerja di Indonesia menahan belanja dan memilih berhemat demi mengantisipasi penurunan penghasilan ke depan karena ancaman PHK yang masih besar seiring kelesuan aktivitas manufaktur.

Undang-Undang Cipta Kerja atau biasa disebut Omnibus Law, juga dinilai membuat posisi pekerja rentan terkena PHK ditambah perhitungan nilai pesangon yang juga lebih kecil. Hal itu menjadikan posisi pendapatan para pekerja kurang aman.

Sebagai siasat, pengaturan keuangan rumah tangga pekerja pun diduga menjadi lebih selektif dalam berbelanja. Imbasnya bisa jauh ke pertumbuhan ekonomi karena konsumsi rumah tangga kini jadi motor utama perekonomian domestik. Sebagai gambaran, jumlah pekerja sektor formal saat ini mencapai 58,05 juta pekerja.

Demo buruh memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Dalam pengajuan judicial review atas UU Cipta Kerja pada Mahkamah Konstitusi, para pekerja yang diwakili oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, membeberkan alasan tuntutan pencabutan beleid tersebut.

Di antaranya adalah, UU itu tidak memberikan batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing sehingga menghilangkan kepastian kerja bagi buruh.

"UU Cipta Kerja memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, hal ini mengancam stabilitas kerja," kata Said Iqbal, Presiden KSPI dalam keterangan tertulis dilansir awal pekan ini.

Beleid kontroversial itu juga hanya mengatur pemberian pesangon PHK hanya setengah dari aturan sebelumnya sehingga merugikan pekerja yang kena PHK. Selain itu, PHK menjadi lebih mudah dilakukan sehingga membuat para pekerja tidak memiliki kepastian bekerja. Stabilitas pendapatannya menjadi rentan. 

Sebagai informasi, sejak UU Cipta Kerja dirilis pada tahun 2022 dan diloloskan oleh Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo dan DPR-RI pada 21 Maret 2023, gelombang PHK memang makin memuncak.

Meski dipengaruhi juga oleh situasi kelesuan ekonomi global, efek dari beleid baru yang masih dikaji ulang oleh MK itu, ditengarai cukup besar.

Mengacu data Kementerian Tenaga Kerja, pada 2023, terjadi 64.855 pekerja yang terkena PHK, tertinggi sejak 2021. 

Pada 2024, tren PHK makin tinggi di mana dalam lima bulan pertama tahun ini saja sebanyak 27.222 pekerja terkena PHK, naik 48,5% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pada Mei saja, angka PHK menembus 8.393 orang, melonjak 165% dibanding Mei 2023.

-- dengan bantuan laporan dari Azura Yumna dan Lavinda.

(rui/aji)

No more pages