Logo Bloomberg Technoz

Defisit tersebut bertambah dari target awal yaitu 2,29% dari PDB. Secara nominal, defisit anggaran melebar Rp 86,7 triliun.

Belanja Negara Bengkak

Defisit 2,7% PDB bukan hal yang main-main. Itu menjadi yang tertinggi sejak 2005, di luar masa pandemi Covid-19.

Kenaikan defisit terjadi akibat penerimaan negara yang tidak mampu membiayai belanja. Dibandingkan 2023, penerimaan negara pada 2024 hanya naik Rp 18,6 triliun (0,67%). Pada saat yang sama, belanja membengkak Rp 291 triliun (9,32%).

Kinerja penerimaan negara yang kurang greget disebabkan oleh tren penurunan harga komoditas. Hal ini diakui oleh Sri Mulyani.

"Penurunan profitabilitas perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang CPO, batu bara, dan tembaga. Mereka juga meminta restitusi yang lebih cepat karena kebutuhan restitusi," ungkap Sri Mulyani.

Penerimaan negara dari batu bara saja, lanjut Sri Mulyani, bisa mencapai Rp 68 triliun pada semester I-2024. Sekarang tinggal tersisa Rp 14,2 triliun atau anjlok 53,9%.

"Komoditas sawit juga turun dari Rp 15,6 triliun ke Rp 6,8 triliun. Tembaga juga turun dari tahun lalu Rp 10,8 triliun tahun ini Rp 6,6 triliun," papar Sri Mulyani.

Sementara belanja negara meningkat tajam. Pada semester I-2024, belanja negara melonjak 11,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Belanja pemerintah pusat menjadi pendorong dengan kenaikan 11,9%. Dari belanja pemerintah pusat, faktor utama peningkatan adalah belanja Kementerian/Lembaga yang melonjak 16,8%.

Sri Mulyani mengakui bahwa salah satu penyebab kenaikan belanja K/L adalah keputusan pemerintah untuk mengerek gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI/Polri sebesar 8% dan tunjangan pensiun sebesar 12%.

Dalam UU APBN 2024, anggaran belanja pegawai tercatat Rp 484,4 triliun. Melonjak 17,5% dibandingkan 2023.

Sementara belanja non-K/L tumbuh 7,6% pada semester I-2024. Salah satunya disebabkan oleh belanja bantuan sosial (bansos).

Hingga semester I-2024, pemerintah sudah menyalurkan anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) senilai Rp 14,2 triliun kepada 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Kemudian ada penyaluran Kartu Sembako senilai Rp 22,2 triliun kepada 18,7 juta KPM.

Faktor Politik

Tidak bisa dipungkiri, 2024 adalah tahun politik. Proses pergantian kepemimpinan 5 tahunan kebetulan terjadi pada tahun ini.

Oleh karena itu, sulit untuk tidak berburuk sangka bahwa APBN 2024 amat rentan ditunggangi kepentingan politik demi mendulang suara. Dalam hal ini, suara yang ingin keberlanjutan dari apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Tidak ada kondisi mendesak seperti pandemi Covid-19 yang membutuhkan tambahan anggaran. Data mungkin benar, akan tetapi muncul potensi ada yang 'mendompleng'. Siapa yang mendapatkan alokasi di lapangan, siapa yang mengawasi, ini sangat berisiko sebagai peluang celah bansos menjadi instrumen politik," tegas Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF, beberapa waktu lalu.

Riset yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Masyarakat dan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) beberapa waktu lalu menyoroti hal ini.

“Dari sisi belanja, perilaku oportunistik para pemimpin dapat menyebabkan kebijakan fiskal yang ekspansif pada tahun Pemilu, terutama bagi pemimpin petahana. Selama periode ini, pemerintah diduga mengeluarkan lebih banyak dana untuk proyek-proyek yang mempunyai visibilitas tinggi dan meningkatkan belanja diskresi untuk meyakinkan para pemilih bahwa mereka melakukan pekerjaannya dengan baik dan menjamin terpilih kembali,” tulis riset tersebut.

Belanja bansos biasa meningkat jelang pemilu, itu yang terlihat pada 2004, 2009, 2014 dan 2019, berdasarkan hasil riset yang sama.

“Membandingkan belanja bantuan sosial, salah satu bentuk belanja diskresi, pada realisasi APBN dan APBN-Perubahan, terlihat bahwa pada periode pemilu, khususnya pemilu 2014 dan 2019, realisasi belanja bantuan sosial selalu lebih tinggi dibandingkan APBN-Perubahan. Dengan pengecualian selama pandemi Covid-19, rasio ini selalu lebih rendah dari 100% pada tahun-tahun non-pemilu," ungkap riset LPEM FEB UI.

Peningkatan belanja diskresi juga terlihat pada rasio belanja subsidi terhadap PDB. Sepanjang 2004-2009, belanja subsidi terhadap PDB lebih tinggi pada tahun pemilu dibandingkan dengan tahun sebelum dan sesudah pemilu. Motivasi politik para pemimpin untuk memenangkan pemilu atau bertindak demi kepentingan pemilih dapat menjadi alasan atas tren ini.

Begitu Pemilu usai, alokasi untuk bansos langsung susut. Pada 2008 misalnya, setahun jelang Pemilu 2009, realisasi anggaran bansos naik 16,04% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Namun, pada 2010 setelah Pemilu usai, realisasi belanja bantuan sosial turun 6,77%. Pada 2013, belanja bansos juga melesat hingga 22% dan pada tahun Pemilu 2014 juga masih naik 6,27%. Tahun berikutnya yaitu 2015, belanja bansos turun 0,8%.

Pola yang sama berlanjut pada 2018 di mana belanja bansos naik tak tanggung-tanggung hingga 52,5%. Pada tahun di saat Pemilu 2019 dilangsungkan, belanja bansos juga masih tinggi hingga naik 33,3%. Bedanya, setelah itu terjadi pandemi Covid-19 pada 2020 sehingga belanja bansos semakin meroket karena kegentingan dengan kenaikan sampai 80,06%.

Alhasil, sulit untuk tidak mengaitkan pembengkakan defisit APBN 2024 dengan kepentingan politik. Demi meraih simpati pemilih, atas nama raupan suara, kebijakan fiskal seakan menjadi ugal-ugalan.

(aji/hps)

No more pages