Walau bila melihat proporsi pengeluaran, terlihat bawah kelompok ekonomi bawah mengurangi alokasi tabungan karena pengeluaran untuk konsumsi dan pembayaran cicilan pada saat yang sama meningkat.
Hasil survei juga memotret, kelompok menengah dengan pengeluaran Rp2,1 juta hingga Rp5 juta, mencatat penurunan Indeks Keyakinan Konsumen terutama karena menilai kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibanding enam bulan sebelumnya. Bahkan kelas pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta, mencatat kejatuhan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja saat ini hingga 10,9 poin, ke level terendah dalam tiga tahun terakhir atau sejak 2021.
Situasi lapangan kerja yang sempit membuat kelompok menengah kurang optimistis terhadap penghasilan mereka ke depan. Kelompok Rp2,1 juta-Rp5 juta mencatat penurunan Indeks Ekspektasi Penghasilan pada Juni yang menyiratkan, mereka memperkirakan penghasilan mereka menurun dalam enam bulan ke depan.
Adapun bila melihat proporsi pengeluaran, terlihat bahwa kelompok menengah, dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp5 juta, makin turun alokasi tabungannya ketika pada saat yang sama pengeluaran untuk utang turun dan alokasi pendapatan untuk konsumsi meningkat.
'Double Hit'
Hasil Survei Konsumen terbaru itu lagi-lagi menggemakan kembali alarm peringatan tentang situasi ekonomi domestik belakangan yang cenderung suram. Double hit alias pukulan ganda disinyalir saat ini tengah melanda perekonomian Indonesia.
Dari sisi pengeluaran, konsumsi masyarakat menghadapi tekanan akibat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terlihat semakin besar sejak tahun lalu. Pendapatan masyarakat juga dibayangi tekanan akibat masih tingginya inflasi harga pangan bahkan ketika data statistik menyebut inflasi harga konsumen masih terkendali.
Sementara dari sisi lapangan usaha, aktivitas manufaktur di Indonesia juga makin lesu. Pekan lalu, laporan S&P Global mencatat, angka PMI (Purchasing Manager's Index) pada Juni turun ke 50,7. Masih di zona ekspansi akan tetapi angka itu menjadi yang terendah sejak Mei 2023.
"Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan output dan permintaan. Produksi tumbuh dalam laju terlemah sejak Mei 2023, sementara pemesanan baru tumbuh di posisi terlemah dalam 13 bulan terakhir. Permintaan ekspor yang masih lemah lagi-lagi menjadi beban," demikian dilansir oleh S&P Global dalam keterangan tertulis.
Kementerian Perindustrian menyebut, momentum ekspansi manufaktur yang susut pada Juni, menjadi kondisi yang harus diwaspadai.
"Sektor industri saat ini memang sudah masuk ke kondisi alarming. Para pelaku industri menurun optimismenya terhadap perkembangan bisnis mendatang. Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan pesanan baru yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, restriksi perdagangan di negara lain, juga regulasi yang kurang mendukung.
Febri Hendri Antoni, Juru Bicara Kementerian Perindustrian
"Sektor industri saat ini memang sudah masuk ke kondisi alarming. Para pelaku industri menurun optimismenya terhadap perkembangan bisnis mendatang. Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan pesanan baru yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, restriksi perdagangan di negara lain, juga regulasi yang kurang mendukung," kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni dalam siaran pers pekan lalu.
Sebelumnya, Kementerian Tenaga Kerja melaporkan, jumlah tenaga kerja yang terkena vonis PHK dan terpaksa kehilangan sumber pendapatan pada Mei mencapai 8.393 orang, menjadikan total PHK menembus 27.222 orang dalam lima bulan pertama tahun ini. Dengan demikian, total PHK selama Januari-Mei tahun ini, telah meningkat 48,5% dibanding Januari-Mei tahun lalu.
Sementara bila memerinci angka bulanan, jumlah PHK pada Mei itu melonjak 30,4% dibanding April. Lajunya memang sedikit turun dibanding angka April yang naik 37%. Namun, apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu, angka kenaikannya mencapai 165% karena pada Mei 2023 jumlah PHK 'hanya' sebanyak 3.156 orang.
(rui/aji)