Logo Bloomberg Technoz

SRBI yang bertenor pendek, paling lama 12 bulan, mengimplikasikan akan ada gelombang jatuh tempo instrumen ini pada bulan-bulan mendatang yang dapat berarti keluarnya dana asing dari pasar. Itu bisa menekan nilai rupiah, terutama bila terjadi ketika pasar tengah dibekap sentimen negatif. 

Meski hal tersebut bisa dihindari apabila Bank Indonesia melanjutkan agresivitas penerbitan (refinancing) untuk menahan dana asing agar tidak keluar. Hanya saja, langkah itupun memicu risiko lain yaitu keketatan likuiditas di pasar dapat berlanjut. Hal tersebut mengingat imbal hasil SRBI yang tinggi sejauh ini telah berimbas pada bunga pasar uang, bahkan ketika BI rate masih bertahan di 6,25%.

Pada lelang terakhir SRBI yang digelar Jumat pekan lalu, BI kembali mempertahankan bunga tinggi untuk instrumen penarik hot money tersebut. Pemberian imbal hasil di kisaran 7,521%, sedikit lebih rendah dibanding lelang sebelumnya di 7,526%. Itu dilakukan ketika minat investor agak turun dengan incoming bids terkikis 5% menjadi sebesar Rp25,9 triliun.

Sampai lelang hari ini 5 Juli, nilai penerbitan SRBI telah mencapai Rp842,49 triliun sejak mulai diperkenalkan pada September 2023. Mengasumsikan sekitar 27%-30% dipegang oleh investor asing, maka saat ini diperkirakan ada sekitar Rp227,47-Rp252,74 triliun hot money, dana asing jangka pendek, yang bisa sewaktu-waktu hengkang dari pasar atau ketika SRBI yang bertenor pendek tersebut jatuh tempo.

"Karena SRBI ini memiliki tenor pendek, akan terdapat gelombang jatuh tempo pada bulan-bulan mendatang yang dapat mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah akibat keluarnya dana asing dari SRBI. Atau, penerbitan SRBI yang lebih agresif untuk refinancing," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dalam catatannya beberapa waktu lalu.

Likuiditas Pasar

Tingginya bunga SRBI mempengaruhi suku bunga di pasar uang. Mengacu pergerakan IndONIA, yang menjadi referensi bunga pasar uang overnight di Indonesia, sempat menyentuh 6,183% pada Rabu 3 Juli ketika bunga SRBI pada hari itu melesat ke 7,526%. 

Level bunga IndONIA itu menjadi yang tertinggi sejak 14 Mei lalu. Sementara pada Jumat kemarin ketika bunga SRBI sedikit turun, tingkat bunga IndONIA ikut terkikis ke 6,132%.

Hal itu menunjukkan korelasi kuat antara tingkat bunga SRBI dengan bunga pasar, bahkan di kala BI rate dipertahankan di 6,25%. Dengan kata lain, bunga SRBI saat ini menjadi bunga kebijakan de facto yang dilihat oleh pasar ketimbang BI rate.

Dampak juga terlihat di pasar SBN. Dalam lelang sukuk negara terakhir pekan lalu, misalnya, di mana investor menaikkan tawaran untuk SBSN seri tertentu dengan permintaan yield tinggi dan pada saat yang sama enggan melirik seri lain. 

Respons investor itu akhirnya membuat pemerintah menyerap SBSN lebih sedikit dengan yield tinggi. Pemberian yield tinggi oleh pemerintah dapat berimbas pada kenaikan biaya dana (cost of fund) yang harus ditanggung negara dalam pencarian utang untuk APBN.

Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati mengakui pemerintah tidak agresif dalam menerbitkan SBN karena tingginya biaya bunga di pasar saat ini. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani berswafoto dengan Gubernur BI Periode 2023-2028 Perry Warjiyo (Dok: Instagram)

Sampai akhir Mei lalu, pembiayaan anggaran melalui penarikan utang baru mencapai Rp132,2 triliun, turun 12,2% dibanding Mei 2023. Pembiayaan utang terutama bersumber dari penjualan SBN sebesar Rp141,6 triliun, turun 2% year-on-year dan setara 21,3% terhadap APBN.

Menkeu menjelaskan, penambahan utang melalui emisi SBN yang tidak agresif adalah karena kewaspadaan terhadap tren sektor keuangan global yang bergejolak dengan kecenderungan tingkat bunga tinggi dalam waktu lama. 

"Artinya, kami berhati-hati agar tidak terekspos terhadap lingkungan dan tren sektor keuangan global yang cenderung higher for longer dan pressure terhadap rupiah," kata Bendahara Negara itu.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pernyataannya di tengah rapat kerja di Parlemen akhir Juni lalu juga mengakui, penerbitan SRBI mungkin akan memicu masalah dengan penerbitan SBN terutama bila kelak pemerintah harus menerbitkan banyak SBN demi kebutuhan pembiayaan APBN. 

Perry menyatakan, BI akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk memastikan penjualan SRBI tidak mengganggu penjualan surat utang negara. "Jika pemerintah memerlukan penerbitan obligasi yang lebih besar di masa depan, kami pasti akan menurunkan penerbitan SRBI kami," kata dia.

(rui/aji)

No more pages