Logo Bloomberg Technoz

Adapun, tuntutan utama dalam aksi ini adalah Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan HOSTUM (Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah). Said, menerangkan setidaknya ada beberapa alasan buruh melakukan judicial review ke MK. 

Pertama, UU Cipta Kerja dinilai mengembalikan konsep upah minimum menjadi upah murah, dan mengancam kesejahteraan buruh dengan kenaikan upah yang kecil dan tidak mencukupi.

Lalu, tidak adanya batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing, sehingga menghilangkan kepastian kerja bagi buruh.

"UU Cipta Kerja memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, hal ini mengancam stabilitas kerja," jelas Said. 

Selanjutnya, UU Cipta Kerja dinilai memberikan pesangon hanya setengah dari aturan sebelumnya, sehingga merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan. Tak hanya itu, proses PHK menjadi dipermudah, sehingga membuat buruh tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada dalam posisi rentan.

"Pengaturan jam kerja yang tidak menentu menyulitkan buruh untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi," sambungnya. 

Tidak adanya kepastian upah selama cuti, khususnya bagi buruh perempuan, sehingga menambah kerentanan dan diskriminasi di tempat kerja.

Said juga menekankan, UU Cipta Kerja justru semakin meningkatan jumlah tenaga kerja asing tanpa pengawasan ketat, dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh lokal.

Terakhir, UU Cipta Kerja menciptakan penghapusan sanksi pidana bagi pelanggaran hak-hak buruh, serta memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk melanggar tanpa konsekuensi hukum berat.

"Aksi ini diharapkan dapat memberikan tekanan yang kuat kepada pemerintah untuk mendengarkan suara pekerja dan mencabut UU Cipta Kerja yang telah terbukti merugikan," pungkasnya.

(prc/wdh)

No more pages