Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan harga nikel dunia bakal tetap ditentukan oleh keseimbangan pasokan dan permintaan.
Bila pasokan melebihi permintaan, maka harga bakal tertekan. Sebaliknya, harga bakal terkerek naik bila pasokan lebih sedikit dari permintaan.
Kendati demikian, Agus mengatakan Indonesia tetap berpotensi untuk menentukan harga nikel dunia selama memiliki pangsa pasar besar.
“Kalau pangsa pasar kita besar, ya akan dapat menjadi penentu pasar,” ujar Agus.
Menyitir laman LME hari ini, Jumat (5/7/2024), nikel turun 0,61% menjadi US$17.217/ton pada penutupan perdagangan Kamis (4/7/2024).
Dalam kaitan itu, sejumlah produsen nikel yang berbasis di China daratan juga berupaya untuk memperluas kapasitas di seluruh Indonesia dan China, yang akan secara signifikan meningkatkan ketersediaan nikel kelas I.
Ekspor nikel olahan China melonjak 63,0% selama 2023 menjadi 36,8kt dari 22,6kt pada 2022, kemungkinan sebagai respons terhadap kapasitas penyulingan baru.
Peningkatan pasokan yang substansial ini, menimbulkan risiko memberikan tekanan ke bawah pada harga nikel, yang memungkinkan harga nikel kelas I LME merasakan dampak dari pasar nikel kelas II yang terlalu jenuh.
BMI mengatakan persetujuan merek nikel baru di LME merupakan respons strategis untuk mengatasi persediaan yang rendah dan mengurangi ancaman volatilitas harga, seiring dengan terbongkarnya posisi short Xiang Guangda yang menyebabkan harga sempat menembus US$100.000/ton.
Stok yang rendah menjadi faktor yang menyebabkan lonjakan harga pada Maret 2022 dan terus menimbulkan risiko kenaikan harga.
Untuk mengoreksi tingkat persediaan yang rendah dan membangun likuiditas, LME melanjutkan jam perdagangan Asia pada 20 Maret 2023, setelah menghentikannya tahun lalu setelah lonjakan harga pada Maret 2022.
Hal ini sejalan dengan langkah-langkah lain yang bertujuan untuk menstabilkan pasar, seperti menetapkan batasan perdagangan harian dan mempercepat proses pengiriman merek nikel baru pada kontrak LME.
Seiring dengan meningkatnya produksi nikel Kelas I, lonjakan persediaan nikel LME membayangi pasar, yang semakin menekan pasar. Tingkat stok telah meningkat 56,3% pada tahun ini, naik dari 57,9kt pada 2 Januari menjadi 90,3kt pada 28 Juni 2024.
Meskipun demikian, tingkat stok tetap rendah dibandingkan dengan tingkat historis, turun secara signifikan dari level tertinggi multiyear sebesar 203,8kt pada April 2021.
“Kami mencatat persediaan LME tidak menunjukkan tingkat surplus pasar secara penuh karena surplus tersebut sebagian besar terjadi pada produk nikel kelas II dan menengah, yang tidak diperdagangkan di LME.”
BMI memperkirakan volume akan meningkat karena fasilitas konversi nikel baru mulai beroperasi di seluruh China daratan dan Indonesia yang dipadukan dengan upaya LME untuk meningkatkan likuiditas dengan mempercepat proses pengiriman merek nikel baru berdasarkan kontrak LME.
Selain itu, BMI Juga memproyeksikan harga nikel dalam jangka pendek berada pada level US$18.000/ton imbas adanya kelebihan pasokan yang terus menyeret harga turun dari level 2022.
Peningkatan pasokan yang signifikan pada 2024, seperti yang terjadi pada 2023, didorong oleh peningkatan produksi di Indonesia dan China daratan dan menjadi pendorong utama penurunan harga.
Adapun, harga nikel anjlok pada tahun lalu, dengan harga tahunan rata-rata 2023 turun sebesar 15,3% menjadi US$21.688/ton dari US$25.618/ton yang terlihat pada 2022, dengan penurunan yang dikaitkan dengan pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan permintaan yang lesu.
“Kami memperkirakan dinamika serupa akan membatasi pertumbuhan harga pada 2024 karena produksi di produsen utama China daratan dan Indonesia melonjak,” tulis BMI.
(dov/wdh)