"Perlu ditelusuri dahulu penyebab lama bongkar muat apa, sebab Pelindo [Pelabuhan Indonesia] sendiri ada pelayanan 24/7. Ini perlu di audit. [Selain itu] pemerintah mewajibkan peti kemas dalam impor beras agar kualitasnya terjaga. Ini juga perlu dipikirkan apa win-win solution agar kualitas terjaga tanpa antre panjang di pelabuhan," sambungnya.
Terkait dengan dilaporkannya dua kepala instansi pengelola pangan negara tersebut, Eliza menyatakan isu tersebut seharusnya tidak menjadi masalah dan malah dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pemerintah.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI belum lama ini, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi menegaskan bahwa demurrage atau keterlambatan bongkar muat adalah bagian dari risiko yang tidak bisa dihindari dalam kegiatan ekspor impor.
"Demurrage merupakan biaya yang sudah harus diperhitungkan dalam kegiatan ekspor impor. Adanya biaya demurrage menjadi konsekuensi logis dari kegiatan tersebut. Kami selalu berusaha meminimumkan biaya demurrage dan itu sepenuhnya menjadi bagian dari perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengekspor," ujar Bayu Krisnamurthi akhir Juni.
Untuk diketahui, Bulog masih akan memperhitungkan total biaya demurrage yang harus dibayarkan, termasuk dengan melakukan negosiasi ke pihak Pelindo, pertanggungan pihak asuransi serta pihak jalur pengiriman.
Bulog memperkirakan demurrage yang akan dibayarkan dibandingkan dengan nilai produk yang diimpor tidak lebih dari 3%.
Diberitakan sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog dilaporkan ke KPK oleh Studi Demokrasi Rakyat (SDR) pada Rabu (3/7/2024) kemarin, lantaran diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp2,9 triliun yang berasal dari dugaan penggelembungan dana atau mark up pada biaya impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun.
Selain itu, keduanya juga dilaporkan karena melakukan dugaan kerugian negara lainnya akibat demurrage atau denda di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hingga akhir Juni 2024, kedua lembaga dinilai merugikan negara hingga Rp294,5 miliar.
(prc/wdh)