Menkes menjelaskan bahwa saat ini belum merata tenaga kesehatan termasuk amat kurangnya dokter spesialis. Oleh karena itu substansi dalam RUU akan mengatur hal ini melalui
a. Pasal 183 tentang penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis harus dilakukan di rumah sakit pendidikan
b. Pasal 229-230 tentang adaptasi dokter WNI diaspora melalui portfolio evaluasi kompetensi
c. Pasal 235-237 dan 239 tentang pendayagunaan tenaga kesehatan asing (WNA) untuk mengisi daerah yang tidak diminati dan alih teknologi ilmu pengetahuan
d. Pasal 245-252 tentang proses penyederhanaan birokrasi penerbitan surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP).
"MEngenai SMD kita memahami dokter kita kurang, dokter spesialis kita juga kurang. Distribusinya juga belum merata. Untuk dokter sendiri pendidikan kedokteran itu sulit dan mahal. Begitu sudah selesai izin-izinnya juga mahal itu adalah masukan yang kami terima dan kami akan sederhanakan itu dalam RUU ini," kata Budi Gunadi Sadikin dalam rapat tersebut sebagaimana dikutip dari kanal DPR, Kamis (6/4/2023).
2. Digitalisasi Sistem Kesehatan
a. Pasal 349-350 tentang penyelenggaraan sistem informasi kesehatan
b. Pasal 352 dan Pasal 355 tentang jaminan perlindungan data kesehatan individu
c. Pasal 359 tentang pemanfaatan teknologi biomedis mencakup teknologi genomik, transkriptomik, prateomik dan metabolomik
d. Pasal 360 tentang penyelenggaraan biobank dan biorepositori yang terintegrasi dalam sistem kesehatan.
3. Efisiensi Pembiayaan Kesehatan
a. Pasal 420 tentang perencanaan pembiayaan berbasis kinerja dengan mempertimbangkan pembangunan kesehatan dan penyelesaian masalah kesehatan
b. Pasal 417 tentang sistem laporan realisasi belanja
c. Pasal 424 angka 2,4,6 tentang jaminan manfaat berbasis kebutuhan dasar kesehatan dan mengendalikan moral hazard.
4. Kemandirian nasional di sektor industri kesehatan
a. Pasal 343, Pasal 346 tentang memfasilitasi infrastruktur, suprastruktur, SDM, anggaran, regulasi dan kemudahan perizinan untuk riset dan transfer teknologi farmasi dan alat kesehatan
b. Pasal 343-Pasal 344 tentang prioritas penggunaan bahan baku dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan domestik
c. Pssal 343 dan Pasal 348 tentang insentif fiskal dan nonfiskal kepada industri untuk melakukan penelitian, pengembangan dan produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan dengan menggunakan bahan baku dalam negeri.
"Mengenai transformasi sistem pelayanan kesehatan infustri farmasi, industri alat kesehatan dan industri vaksin di Indonesia makin lama makin tertinggal dibandingkan negara-negara lain even dengan Thailand dan Vietnam yang akhir-akhir ini mulai maju. Jadi kita menyadari pemerintah perlu mendukung pengembangan industri kesehatan dalam negeri," kata Budi Gunadi.
"Nah tidak berkembangnya industri kesehatan dalam negeri ini sangat berpengaruh terhadap ketahanan sistem kesehatan kita pada saat pandemi yang kita rasakan hampir semua obat-obatan dan alat kesehatan dan vaksinnya mesti impor. Untuk negara sebesar kita itu sangat berisiko dengan 270 rakyat kita," tutupnya.
Dari hasil akhir DIM diketahui RUU Kesehatan Omnibus Law ini merupakan penggabungan atau peleburan setidaknya dari subtansi 10 UU yang sudah ada antara lain UU Wabah Penyakit Menular, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kebidanan dan UU Pendidikan Kedokteran.
(ezr)