Memasuki semester II-2024, optimisme pasar terlihat menguat dan bisa membawa nilai rupiah diuntungkan. Data-data terakhir yang dilansir menunjukkan, inflasi AS sudah kembali ke jalur penurunan (disinflasi). Pada saat yang sama, pasar tenaga kerja juga terlihat melemah ditandai dengan tingkat pengangguran yang sudah di 4% dan lonjakan klaim pengangguran yang berlanjut.
Bukan cuma itu, ada indikasi ekonomi terbesar di dunia itu mulai melemah ditandai dengan kontraksi aktivitas nonmanufaktur pada Juni. Saat ini, pelaku pasar menilai, AS bisa jatuh ke dalam resesi bila pengetatan terus dilakukan di tengah kondisi ketenagakerjaan yang makin tertekan. Keyakinan itu masih menunggu konfirmasi data tingkat pengangguran Juni yang akan dilansir pada Jumat malam nanti.
Konsensus pasar sejauh ini memprediksi tingkat pengangguran AS pada Juni akan tetap di 4%. Namun, rekrutmen tenaga kerja yang ditunjukkan oleh data penggajian (nonfarm payroll) diprediksi turun jadi 190.000 dari sebelumnya 272.000. Begitu juga payroll sektor swasta diprediksi turun jadi 160.000 dari semula 229.000. Lalu, rata-rata upah per jam pada Juni diprediksi turun 0,3% month-to-month dari 0,4%, dan melandai dari 4,1% pada Mei menjadi 3,9% year-on-year.
"Kami memprediksi, tingkat pengangguran pada Juni tetap di 4% namun akan mencapai 4,5% pada akhir tahun. Sehingga The Fed kami perkirakan akan memulai siklus penurunan bunga pada September dan diikuti penurunan lagi pada Desember," kata Ekonom Bloomberg Economics Eliza Winger dalam analisisnya, Rabu (3/7/2024).
Probabilitas penurunan Fed fund rate sebesar 25 bps pada September mencapai 67,3%, seperti terlihat di pasar swap hari ini, Kamis (4/7/2024). Sementara pada Desember, peluang penurunan kedua kali mencapai 45,8%.
Kans Trump
Hanya saja, selain faktor arah kebijakan bunga The Fed, pasar global saat ini juga dibayangi oleh sentimen dinamika perpolitikan di Amerika juga Eropa. Penampilan buruk dalam debat perdana yang diperlihatkan oleh Presiden AS Joe Biden, yang kembali berlaga dalam kontestasi Pilpres November nanti, memantik kecemasan pasar. Pasalnya, hal itu berarti peluang kemenangan Donald Trump selaku penantang di Pilpres menjadi meningkat.
Keterpilihan Trump dinilai bisa berdampak pada kebijakan ekonomi AS yang riskan mengerek lagi inflasi, seperti pemangkasan pajak dan pengerekan tarif. Bila itu terjadi, rezim higher for longer bisa semakin panjang dan melesatkan pamor dolar AS. Itu menjadi sentimen buruk bagi mata uang emerging market termasuk rupiah.
Pasar juga mencermati perkembangan Pemilu Inggris dan Prancis. Kemenangan partai sayap ekstrem kanan di Prancis memicu kekhawatiran akan kebijakan ekonomi Uni Eropa ke depan yang lebih proteksionis. Yang terbaru, Uni Eropa sudah berniat merilis aturan pengenaan tarif bagi impor barang-barang China.
Indikator ekonomi AS yang masih simpang siur juga sepertinya masih akan membebani rupiah ke depan. Data Juni menunjukkan ekonomi terbesar itu menghadapi pelemahan pasar tenaga kerja. Namun, bila pembacaan dilakukan hanya sampai Mei, terlihat potret perekonomian yang masih kuat.
Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospect edisi Juni 2024 memprediksi, pertumbuhan ekonomi AS tahun ini akan mencapai 2,5%, naik signifikan sebesar 0,9 point persentase dibanding proyeksi sebelumnya pada Januari.
Kenaikan itu terutama didukung oleh data belanja masyarakat dan tenaga kerja yang lebih baik dari prediksi semula. Bank Dunia juga mengerek prediksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,6%, naik 0,2 point persentase dibanding prediksi sebelumnya.
Ekonomi yang makin menguat bisa memicu inflasi lagi dan memperlama periode higher for longer. Sejauh ini, dot plot The Fed Juni lalu memprediksi penurunan bunga acuan sebanyak satu kali saja, 25 bps. Sementara pelaku pasar masih mempertahankan optimisme penurunan hingga dua kali tahun ini.
Optimisme BI
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pernyataan terakhirnya menyebut, kisaran nilai rupiah terhadap dolar AS saat ini di atas Rp16.000-an/US$ adalah undervalued. Nilai wajar rupiah bila sesuai fundamentalnya, menurut Perry, adalah di kisaran Rp15.900-an/US$.
Inflasi kita rendah, pertumbuhan ekonomi juga relatif baik di 5,1%, transaksi berjalan juga defisitnya masih rendah ditambah imbal hasil investasi yang juga menarik. Faktor fundamental ini yang akan mempengaruhi tren dan kami yakini tren ke depan rupiah akan menguat dan dalam jangka pendek pergerakannya stabil.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo
"Inflasi kita rendah, pertumbuhan ekonomi juga relatif baik di 5,1%, transaksi berjalan juga defisitnya masih rendah ditambah imbal hasil investasi yang juga menarik. Faktor fundamental ini yang akan mempengaruhi tren dan kami yakini tren ke depan rupiah akan menguat dan dalam jangka pendek pergerakannya stabil," kata Perry.
Penilaian BI, rupiah yang melemah belakangan adalah karena faktor sentimen pasar jangka pendek terutama terkait arah kebijakan bunga acuan The Fed dan negara-negara maju. Sampai saat ini, asesmen BI terhadap arah bunga The Fed belum berubah, yaitu memperkirakan penurunan satu kali sebesar 25 bps tahun ini. Skenario baseline itu juga dilatarbelakangi oleh perkiraan tetap kuatnya ekonomi AS.
Sementara ekonomi global diprediksi tumbuh 3,2% tahun ini, lebih tinggi dibanding perkiraan BI sebelumnya di 3%. Terutama didukung oleh perbaikan ekonomi China dan India. Di sisi lain, langkah bank sentral Eropa yang sudah mendahului penurunan bunga acuan memicu divergensi kebijakan di negara maju. "Divergensi kebijakan moneter negara maju, serta masih tingginya ketegangan politik menyebabkan ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi," kata Perry.
Ketidakpastian itu yang menjadi sentimen jangka pendek bagi rupiah sehingga terombang ambing melemah di kisaran Rp16.000-an/US$ sampai hari ini.
Analisis Teknikal
Analisis memakai indikator arah tren untuk menentukan area level resistance dan area level support.
Nilai rupiah saat ini terlihat sedang menguji level resistance pertama menuju Rp16.200/US$. Terdapat level yang menarik dicermati pada resistance psikologis potensial selanjutnya di Rp16.000/US$.
Apabila resistance itu berhasil ditembus, rupiah berpotensi makin kuat ke Rp15.900/US$ sampai dengan target ke indikator MA-200 di Rp15.750/US$.
Sementara level support rupiah masih kuat di Rp16.450/US$, dan Rp16.500/US$ sebagai level psikologis. Adapun level stop loss ada di level Rp16.650/US$.
Melihat berbagai sentimen yang ada ditambah indikator teknikal, prospek penguatan rupiah sangat terbuka sepanjang semester II-2024 dengan target optimistis di Rp15.750/US$.
(rui/aji)