Menurut Bhima, adopsi EV yang rendah terjadi karena berbagai faktor, seperti infrastruktur pengisian atau charging station yang masih belum banyak tersedia, serta penggantian suku cadang dan baterai yang masih dianggap terlalu mahal.
“Meskipun [EV] diproduksi di dalam negeri, banyak komponen yang tidak diproduksi di Indonesia. Misalnya, nikel dari Indonesia, tetapi litiumnya itu juga banyak diimpor dari Australia,” ujarnya.
Kedua, alih-alih mendorong kendaraan pribadi berbasis EV, Bhima menilai pemerintah seharusnya menyempurnakan dan menggelontorkan anggaran besar untuk transportasi umum berbasis EV bila ingin menekan impor dan subsidi BBM.
“Jadi batasi penggunaan kendaraan pribadi, transportasi publiknya didorong. Ini yang masih jadi loopholes atau lubang besar dalam kebijakan EV di Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memproyeksikan Indonesia bisa memangkas subsidi BBM hingga Rp131 miliar/tahun melalui produksi EV di dalam negeri.
Adapun, Indonesia sendiri memiliki target kapasitas produksi hingga 600.000 unit kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB) atau battery electric vehicle (BEV) pada 2030.
Menurutnya, kapasitas produksi BEV Indonesia juga bisa meningkat signifikan seiring dengan dimulainya produksi Kona Electric besutan Hyundai Motor Group di dalam negeri sejumlah 50.000 unit/tahun.
“Produksi ini dapat diperkirakan menghemat subsidi BBM mencapai Rp131 miliar per tahun,” ujar Luhut dalam agenda Peresmian Ekosistem Baterai dan Kendaraan Listrik Korea Selatan di Indonesia yang disiarkan secara virtual, Rabu (3/7/2024).
Sekadar catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa pemerintah telah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp186,9 triliun pada 2024. Perinciannya, Rp113,3 triliun dialokasikan untuk subsidi BBM dan Liquified Petroleum Gas (LPG), serta Rp73,6 triliun dialokasikan untuk subsidi listrik.
(dov/wdh)