Di antara sepuluh pasar batu bara teratas dunia, Indonesia mengalami peningkatan tercepat, naik dari posisi ke-11 pada 2015 ke posisi ke-5 hanya dalam 8 tahun. Peningkatan ini termasuk melampaui Australia pada 2018, Jerman pada 2019, Rusia pada 2020, dan Afrika Selatan pada 2022.
Permintaan Listrik
Ember melaporkan pertumbuhan listrik terbarukan yang lambat menyebabkan Indonesia masih memenuhi kenaikan permintaan listrik terutama dengan batu bara.
Dalam kaitan itu, 67% peningkatan permintaan listrik Indonesia pada 2023 dipenuhi dengan batu bara. Permintaan meningkat sebesar 17,1 TWh (5,1%) pada 2023 dibandingkan dengan 2022, pada saat yang sama tenaga batu bara meningkat sebesar 11,5 TWh (5,6%).
Sementara itu, sebanyak 31% peningkatan permintaan yang tersisa sebagian besar dipenuhi dengan gas. Tenaga surya dan angin hanya berkontribusi sebesar 2,3% dalam memenuhi peningkatan permintaan, sementara pembangkitan tenaga air turun sebesar 10% dibandingkan dengan 2022.
Penurunan tenaga air diimbangi oleh peningkatan sebesar 9% dalam pembangkitan bioenergi.
“Sejak Indonesia memulai pembangkitan tenaga angin dan surya pertama pada 2013, pertumbuhannya lambat. Pada 2023, pembangkitan tenaga angin dan surya mencapai 1,2 TWh, menambah 0,4 TWh daya bersih ke jaringan listrik. Secara keseluruhan, pembangkitan tenaga bersih turun 0,3% pada 2023.”
Ember melaporkan, peran terbatas energi terbarukan dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia sangat kontras dengan China dan Polandia, yang juga secara historis sangat bergantung pada batu bara.
Pertumbuhan tenaga angin dan surya yang kuat di China dan Polandia makin mengurangi porsi batu bara dalam bauran tersebut. Di China, tenaga angin dan surya memenuhi 46% dari kenaikan permintaan listrik yang substansial sebesar 6,9%.
Di Polandia, permintaan listrik turun sebesar 2,8% (5 TWh), sementara pembangkitan tenaga angin dan surya tumbuh pesat sebesar 26% (7,3 TWh). Hal ini mengakibatkan penurunan besar dalam pembangkitan tenaga batu bara sebesar 17% (22 TWh).
(dov/wdh)