Yang pasti, agresivitas BI menarik duit pemodal melalui instrumen operasi moneter jangka pendek itu telah berdampak pada pasar surat utang negara (SBN). Surat berharga terbitan pemerintah jadi kurang menarik bila dibandingkan SRBI yang memberikan bunga lebih tinggi.
Sebagai perbandingan, untuk SBN tenor pendek 1Y masih ada di 6,651% pada perdagangan kemarin, berjarak cukup lebar dengan SRBI tenor sama di 7,525%.
Kemarin, tekanan jual di pasar surat utang negara (SBN) masih marak di mayoritas tenor. SBN dengan tenor di bawah 5Y mencatat kenaikan imbal hasil. SBN-2Y naik ke 6,819%. Sedangkan SBN-5Y turun sedikit ke 6,987%. Yield SBN-10Y turun sedikit ke 7,145% sedangkan 20Y naik ke 7,139%.
Kajian yang dilakukan Bahana Sekuritas, menyebut, yang terjadi kemungkinan hanya pergeseran dana asing dari SBN ke SRBI. Indikasinya, kepemilikan asing di SRBI naik sekitar Rp77 triliun pada Mei di mana hal itu kemungkinan besar berasal dari peralihan (switching) dana asing dari SBN yang turun Rp52,7 triliun dari Januari-April tahun ini. Dengan kata lain, BI dan Kementerian Keuangan sebenarnya 'berebut' duit yang sama.
Analis menilai, ada risiko bahwa pembentukan kurva imbal hasil ganda yakni SRBI dan JIBOR, dapat menyebabkan kebijakan moneter tidak efektif dalam jangka panjang.
"Dalam pandangan kami, suku bunga SRBI secara bertahap dapat menjadi suku bunga kebijakan de facto. Misalnya, transmisi moneter dari kenaikan BI-rate pada bulan Oktober dan April relatif lambat. [Namun] bank-bank komersial menaikkan suku bunga deposito ketika suku bunga SRBI melonjak pada bulan Mei," jelas Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas.
Bunga SRBI yang makin tinggi itu pada praktiknya telah memang membuat likuiditas di pasar makin ketat. Indikasinya, bunga IndONIA, merangkak makin tinggi per 3 Juli lalu ada di 6,183%. Level itu menjadi tingkat bunga IndONIA yang tertinggi sejak 14 Mei.
Bunga IndONIA menjadi bunga referensi berbagai produk keuangan di Indonesia, termasuk bagi bank ketika mencari likuiditas segar dari pasar. Bila bunga di pasar makin mahal, maka itu akan berpengaruh pada bunga pinjaman.
Kenaikan bunga IndONIA itu terjadi bahkan ketika BI rate masih dipertahankan di 6,25%, menebalkan lagi dugaan bahwa bunga acuan de facto di Indonesia saat ini adalah bunga SRBI.
Sentimen Global
Untuk hari ini, pasar SBN mungkin masih akan mendapatkan angin segar dari perbaikan sentimen global. Perekonomian Amerika terlihat semakin melambat dan berpotensi mengalami resesi pada semester II-2024 nanti.
Sinyal resesi itu terlihat dari penurunan lagi PMI nonmanufaktur ISM ke zona kontraksi pada Juni di angka 48,80. Kontraksi PMI nonmanufaktur terjadi di hampir semua kategori di mana jumlah permintaan baru ada di 47,30, lalu rekrutmen pekerja di 46,10, begitu juga aktivitas bisnis ada di 46,10 pada Juni lalu.
Aktivitas ekonomi AS yang kian lemah itu menjadi kabar baik di telinga para pelaku pasar karena dinilai akan menjaga laju inflasi bulanan AS tetap rendah sehingga membuka peluang penurunan bunga The Fed lebih lebar tahun ini.
"Kami melihat situasi itu sebagai sentimen positif bagi pergerakan pasar SBN. Prediksi kami, yield 10Y INDOGB dan INDON berpotensi turun hari ini ke rentang 7,05-7,10% dan 5,20-5,25%," tulis tim riset Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi dan Nanda Rahmawati dalam catatannya pagi ini.
Yield FR0100 dan FR0098 juga berpeluang turun ke rentang 7,00-7,05%, diikuti yield FR0097 ke 7,05-7,10%. Kemudian FR0101 ke 6,90-6,95%, FR86 ke 6,60-6,65%. Namun, yield FR0102 kemungkinan bergerak sideways di rentang 7,10-7,15%.
(rui/aji)