Bloomberg Technoz, Jakarta - Semakin banyak orang kehilangan pekerjaan di Indonesia akhir-akhir ini akibat terkena vonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menebalkan gambaran suram perekonomian RI yang belakangan kian banyak memunculkan sinyal buruk.
Data terbaru yang dilansir oleh Kementerian Tenaga Kerja hari ini, Rabu (3/7/2024), melontarkan peringatan lebih keras tentang situasi ketenagakerjaan di Tanah Air. Jumlah tenaga kerja yang terkena vonis PHK dan terpaksa kehilangan sumber pendapatan pada Mei mencapai 8.393 orang, menjadikan total PHK menembus 27.222 orang hanya dalam lima bulan pertama tahun ini. Alhasil total PHK selama Januari-Mei tahun ini, telah meningkat 48,5% dibanding Januari-Mei tahun lalu.
Sementara bila memerinci angka bulanan, jumlah PHK pada Mei itu melonjak hingga 30,4% dibanding April. Lajunya memang sedikit turun dibanding angka April yang mencatat lonjakan hingga 37%. Namun, apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu, angka kenaikannya mencapai 165% karena pada Mei 2023 jumlah PHK 'hanya' sebanyak 3.156 orang.
Lonjakan angka PHK yang semakin tak terjeda itu mengisyaratkan situasi yang lebih buruk sektor ketenagakerjaan tahun ini. Total pekerja yang terkena PHK tahun ini kemungkinan akan melampaui tahun lalu dan bisa kembali lagi ke masa pandemi ketika badai pengangguran menjatuhkan banyak rumah tangga jatuh miskin.
Sebagai perbandingan, pada 2023 lalu, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 64.855 orang, tertinggi sejak 2021. Sementara pada 2020 ketika pandemi mematikan perekonomian, angka PHK terbang tinggi hingga 386.877 orang.

Aktivitas Manufaktur Lemah
Data terbaru itu lagi-lagi memberikan peringatan keras pada para pemangku kepentingan tentang situasi perekonomian domestik yang tengah menghadapi situasi sulit. Angka PHK bisa makin melejit terlebih aktivitas manufaktur Indonesia terpantau semakin menurun.
Laporan S&P Global yang dirilis awal pekan ini mencatat, aktivitas manufaktur RI yang diukur dengan PMI [Purchasing Manager's Index] pada Juni turun ke 50,7. Masih di zona ekspansi akan tetapi angka itu menjadi yang terendah sejak Mei 2023.
"Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan output dan permintaan. Produksi tumbuh dalam laju terlemah sejak Mei 2023, sementara pemesanan baru tumbuh di posisi terlemah dalam 13 bulan terakhir. Permintaan ekspor yang masih lemah lagi-lagi menjadi beban," demikian dilansir oleh S&P Global dalam keterangan tertulis.

Momentum produksi dan pemesanan susut, membuat permintaan bahan baku ikut menurun ke level terendah sejak November 2022. Ada kehilangan momentum yang sangat terasa di sektor manufaktur Indonesia pada Juni. Permintaan baru nyaris stagnan dan ekspor turun 4 bulan beruntun.
Yang mengkhawatirkan adalah Indeks Produksi ke Depan yang stagnan atau tidak berubah sejak Mei yang menjadi angka terendah sepanjang sejarah. Hal itu tecermin dalam rekrutmen tenaga kerja yang minim.
"Saat ini, arah yang terlihat adalah penurunan permintaan mengawali semester II-2024. Hal itu akan menjadi kontraksi kedua sejak pertengahan 2021," kata Trevor Balchin, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence.
Konsumsi Juga Lesu
Pukulan bukan hanya datang dari aktivitas manufaktur yang melemah. Konsumsi masyarakat disinyalir juga makin lesu. Dua bulan berturut-turut, Indonesia mencatat deflasi memicu kecurigaan bahwa harga-harga turun adalah karena permintaan dalam ekonomi yang terpuruk. Inflasi inti yang menjadi ukuran permintaan dalam ekonomi, pada Juni lalu turun jadi 1,90% dari 1,93% pada bulan sebelumnya.
Bila menilik data historis, terakhir kali Indonesia mencatat deflasi berturut-turut adalah pada saat pandemi Covid-19 masih merajalela pada 2020.

Deflasi berturut-turut terakhir terjadi pada Juli-September 2020 silam. Bulan-bulan itu, perekonomian domestik bisa dibilang mati suri akibat social distancing demi menghambat penyebaran virus Covid-19.
Masyarakat makin terbatas kekuatan belanjanya akibat penghasilan yang masih harus 'bertarung' dengan inflasi harga pangan bergejolak di mana pada Juni lalu masih tercatat tinggi sebesar 5,96% year-on-year.
Pada saat yang sama, inflasi harga barang yang diatur oleh pemerintah (administered price) juga naik 1,68% year-on-year dari bulan sebelumnya 1,52%. Secara bulanan, kelompok ini juga mencatat inflasi 0,12% dari tadinya deflasi 0,13% pada Mei. Penyebab inflasi adalah karena kenaikan harga sigaret kretek mesin dan tarif angkutan udara.
Konsumsi yang melemah dan pelemahan aktivitas manufaktur bak lingkaran setan yang saling terkait. Kinerja dunia usaha yang lesu akibat konsumsi masyarakat terhambat akan berdampak pada pengurangan produksi dan penurunan penjualan.
Sebagai buntut lanjutan, penjualan yang buruk akan membuat pelaku usaha mengerem ekspansi dan melakukan efisiensi termasuk melakukan pengurangan tenaga kerja. Tenaga kerja yang terkena PHK pun kehilangan kekuatan daya beli akibat penghasilan terhenti.
Di titik itu, pemerintah perlu segera bertindak mengintervensi memberikan stimulasi agar viscious circle ekonomi tidak makin panjang dan menjelma menjadi resesi.
Ekonom LPEM UI Teguh Dartanto menilai, bila deflasi masih berlanjut hingga Juli, pemerintah harus bertindak cepat agar situasi pelemahan daya beli tidak semakin parah.
"Kita perlu melihat kondisi Juli di mana merupakan musim liburan dan tahun ajaran baru yang dapat mendorong permintaan dalam perekonomian. Jika masih deflasi, maka pemerintah harus segera mengambil langkah cepat," kata Teguh.
Hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Bloomberg terhadap 36 ekonom pada Juni, memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2024 diperkirakan masih 3,73% secara kuartalan setelah mengalami kontraksi pada kuartal 1-2024 sebesar -0,83%.
Namun, pada kuartal III-2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi melemah lagi, hanya tumbuh 1,6% quarter-to-quarter dan pada kuartal terakhir tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 0,44%.
Alhasil, sepanjang 2024, Produk Domestik Bruto (PDB) RI diprediksi hanya tumbuh 5% pada 2024, melambat dari capaian tahun lalu di angka 5,05%. Lalu pada 2025 dan 2026, Indonesia diprediksi sedikit bangkit dengan pertumbuhan di 5,1%. Meski begitu, "potensi resesi ekonomi di Indonesia dalam 12 bulan ke depan angkanya 0%," kata 11 ekonom yang disurvei.
-- dengan bantuan laporan dari Lavinda.
(rui/aji)