Logo Bloomberg Technoz

Berkaca pada hal tersebut, pemerintah menurutnya harus mengambil langkah kuat dan tegas untuk mendukung industri dalam negeri. Adapun insentif, dipandang Esther sebagai salah satu langkah yang dapat dibangun pemerintah untuk mendorong penguatan sektor manufaktur.

"Misalnya untuk mereka yang punya bahan baku, menggunakan bahan baku impor gitu, nah, bagaimana caranya mendorong untuk membangun industri seperti substitusi bahan baku impor. Dengan demikian, ketika mereka dapat bahan baku dari domestik kan lebih murah ya harga produknya. Harga jual produknya di akhir [jadi lebih bersaing] gitu kan," jelasnya.

Esther juga meminta kepada pemerintah memperkuat utilitas atau kapasitas mesin bagi industri untuk berproduksi. Apalagi, dia menilai kapasitas kinerja produksi mesin manufaktur lokal hanya mencapai 70% dari 100% penggunannya.

Terlebih, dia menyoroti beberapa produk Indonesia yang kerap kali kalah dari China dalam urusan standar perdagangan internasional meski untuk barang dengan kode harmonized system (HS) yang sama. 

"Kalau kita bicara baja misalnya punya Indonesia itu bajanya [standarnya] 0,8. Sementara produk China itu bajanya 0,65, tetapi bajanya China itu HS kodenya sama dengan baja kita. Sehingga apa yang terjadi? Yang terjadi adalah ya pasti harga kita lebih mahal dong kualitasnya 0,8. Sementara China 0,6. Nah konsumen [cenderung] lebih senang produk yang murah gitu ya. Meskipun dari sisi kekuatan juga lebih rendah," tuturnya.

Untuk itu, dia juga menekankan kepada pemerintah untuk meningkatkan standar produk domestik untuk dapat bersaing di pasar internasional.

Untuk diketahui, S&P Global dalam catatanya menyebutkan bahwa aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dengan PMI berada di 50,7 pada Juni. PMI di atas 50 menggambarkan aktivitas yang berada di area ekspansi, bukan kontraksi. PMI manufaktur Tanah Air sudah berada di zona ekspansi selama 34 bulan beruntun.

"Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan output dan permintaan. Produksi tumbuh dalam laju terlemah sejak Mei 2023, sementara pemesanan baru tumbuh di posisi terlemah dalam 13 bulan terakhir. Permintaan ekspor yang masih lemah lagi-lagi menjadi beban," jelas S&P Global dalam keterangan tertulisnya.

Hilangnya momentum produksi dan pemesanan membuat permintaan bahan baku ikut menurun. Pemesanan bahan baku memang masih tumbuh, tetapi terendah sejak November 2022.

Lebih lanjut, ekspektasi dunia usaha untuk kondisi 12 bulan mendatang tetap positif, dengan perkiraan adanya proyek-proyek baru, pelanggan baru, peningkatan daya beli konsumen, penurunan inflasi, dan kebijakan pemerintah yang suportif.

Namun, tingkat optimisme tersebut tidak berubah dibandingkan dengan Mei, atau masih yang terendah sepanjang sejarah pencatatan.

"Saat ini, arah yang terlihat adalah penurunan permintaan mengawali semester II-2024. Ini akan menjadi kontraksi kedua sejak pertengahan 2021," papar Trevor Balchin, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence.

(prc/wdh)

No more pages