Logo Bloomberg Technoz

Menurut Bisman, relaksasi tersebut merupakan upaya jalan tengah untuk menjaga industri bauksit dalam negeri sembari mendorong perkembangan proyek pembangunan smelter bauksit yang selama ini dianggap terbengkalai.

“Merujuk kebijakan yang diberikan kepada PTFI beberapa tahun terakhir ini terkait ketidaksiapan smelter tembaga tetapi masih bisa ekspor. Maka jika dengan kondisi yang sama semestinya bauksit bisa juga mendapatkan kelonggaran,” ujar Bisman.

Sekadar catatan, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (AP3BI) mengatakan kapasitas input bauksit dari smelter yang ada saat ini di Indonesia hanya berkisar antara 12—14 juta ton per tahun.

Sementara itu, menurut Pelaksana Harian Ketua Umum AP3BI Ronald Sulistyanto, penambang bisa menambang bijih bauksit hingga 30 juta ton per tahun.

Dengan demikian, kata Ronald, sisa bijih bauksit yang tidak diolah di smelter yang jumlahnya mencapai sekitar 16 juta ton hanya didiamkan begitu saja. Apalagi, setelah adanya larangan ekspor bijih bauksit yang telah dicuci oleh Presiden Joko Widodo sejak Juni 2023 untuk mendorong industri smelter dalam negeri.

“Tidak bisa [diapa-apakan], ya didiemin saja di onggokan bauksit. Lama-lama karena air hujan, tidak bisa dijual lagi,” ujar Ronald.

Menurutnya, terdapat perbedaan mendasar antara investasi pabrik pemurnian atau smelter bauksit dibandingkan dengan nikel, yakni jangka waktu dan modal, yang pada akhirnya menjadi kendala pengembangannya.

Jangka waktu dari smelter bauksit cukup lama dan membutuhkan biaya investasi yang besar, yakni mencapai US$1,2 miliar (atau Rp19,6 triliun dengan asumsi kurs saat ini) untuk 2 juta ton.

“Apalagi dolar menguat, belum mereka [investor] memutuskan sudah ada tantangan baru, makin besar biaya dan jangka waktu pengembalian,” ujarnya.

(dov/wdh)

No more pages