"Outlook untuk obligasi negara Indonesia dari kami adalah konstruktif," kata Jennifer Kusuma, Senior Asia Rates Strategist di ANZ Banking Group di Singapura, seperti dilansir oleh Bloomberg News.
Permintaan obligasi cukup untuk menyerap pasokan, ditambah prospek inflasi yang jinak, dan posisi fiskal yang bagus, mengindikasikan ada potensi penurunan target pasokan obligasi, jelas analis.
Obligasi Indonesia sudah kembali di kisaran 7,3% pada tahun ini. Angka ini mencerminkan obligasi domestik jadi yang terbaik di Asia setelah Filipina, menurut data Bloomberg.
Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi memperkirakan, serbuan animo pemodal terhadap obligasi rupiah diperkirakan akan terus berlangsung, setidaknya hingga enam bulan ke depan sampai risiko resesi di AS menunjukkan tanda-tanda berakhir.
"Windows of opportunity obligasi Indonesia selama 6 bulan ke depan hingga resesi AS dan Eropa mencapai bottom pada kuartal 4-2023," kata dia.
Selama sinyal resesi masih kuat di negara-negara maju, itu akan menjadi kesempatan terbaik bagi pemodal untuk mengakumulasi pembelian obligasi rupiah.
Inflasi sudah jinak
Selain faktor Amerika dan Eropa, satu hal yang membuat pamor obligasi rupiah menarik di mata pemodal asing adalah perkembangan pengendalian inflasi yang menunjukkan arah sesuai harapan.
Diketahui inflasi inti sudah berada di kisaran target bank sentral, per Maret lalu sebesar 2,94%, pertama kalinya sejak Juli 2022.
Inflasi IHK juga sudah melandai ke 4,97% pada Maret, membantu tingkat inflasi Indonesia rata-rata sebesar 1,73% selama 10 tahun terakhir. Itu adalah level inflasi tertinggi keempat dari 13 negara berkembang utama.
Selain itu, posisi kepemilikan asing hingga kini juga masih kecil, tidak sampai 15% dari total SBN yang diperdagangkan di pasar. Padahal, sebelum pandemi terjadi, asing menguasai setidaknya 39% dari total SBN di pasar. Itu memberi ruang bagi para manajer investasi global untuk kembali mengoleksi obligasi rupiah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemodal asing terus menambah kepemilikan di Surat Berharga Negara (SBN) dalam 7 hari berturut-turut sejak 27 Maret. Saat ini posisi nonresiden menguasai sekitar Rp 820,32 triliun SBN di pasar.
Penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini juga membantu outlook positif bagi pasar obligasi dan menarik aliran modal asing masuk.
Langkah BI menerapkan kebijakan lelang Term Deposit Valas Devisa Hasil Ekspor, sudah membantu menaikkan suplai dolar AS di pasar domestik. Kebijakan bank sentral juga memberi kepercayaan lebih besar terhadap outlook rupiah ke depan.
Analis memperkirakan, animo asing terhadap obligasi rupiah masih akan berlanjut pada kuartal II-2023 ini, menurut Duncan Tan, Strategist DBS Bank di Singapura.
Bloomberg Technoz sebelumnya melaporkan, ada peluang capital inflow antara Rp 15 triliun hingga Rp 30 triliun pada April ini ke pasar obligasi, terungkit sentimen data ketenagakerjaan Amerika dan inflasi domestik yang terus melandai.
- Dengan bantuan laporan Marcus Wong dari Bloomberg News
(rui/wep)