Logo Bloomberg Technoz

Euro Stoxx anjlok 0,62% pada pembukaan pasar hari ini. Indeks CAC 40 Prancis dibuka turun hampir 1%, begitu juga bursa saham di Jerman DAX yang turun 0,62%.

Koalisi Le Pen diprediksi akan meningkatkan perolehan kursi di DPR (Assemblée Nationale) menjadi 230-310 kursi, jauh lebih besar dibanding saat ini sebanyak 89 kursi. "Apabila koalisi Le Pen berhasil memperoleh 289 kursi atau lebih, maka koalisi ini berhak membentuk kabinet baru di bawah pimpinan Jordan Bardella," jelas Lionel Prayadi, Fixed Income and Market Strategist Mega Capital Sekuritas dalam catatannya.

Ilustrasi pariwisata di Paris, Prancis. (Sumber: Bloomberg)

Kekhawatiran melanda pasar sejak tadi malam pada penutupan pasar di Amerika Serikat. Investor khawatir perkembangan terakhir perpolitikan Prancis di mana kemenangan sayap ultra kanan Le Pen dicemaskan akan membuat kebijakan ekonomi Uni Eropa ke depan akan kian proteksionis.

Pasar juga mengkhawatirkan prospek politik AS di mana Petahana Joe Biden, bersikukuh tetap maju dalam kontestasi Pilpres AS pada November nanti. Penampilan Biden yang mengecewakan pada debat perdana pekan lalu, membuat pasar dipaksa mengantisipasi terpilihnya lagi Donald Trump sebagai Presiden AS.

Kecemasan itu memicu aksi jual surat utang baik di Amerika maupun di Eropa sejak kemarin. Sementara di pasar domestik, pada siang jelang sore hari ini, pergerakan imbal hasil surat utang domestik (SBN) masih cenderung stagnan di mana tenor panjang 10Y tercatat naik 1,4 bps ke 7,068%, disusul tenor 30Y naik 1,3 bps ke 7,098%. Sedangkan tenor 2Y turun 1,2 bps ke 6,671%.

"Dengan latar belakang peristiwa pemilu penting pekan ini, yaitu pemilu di Inggris dan pemilu putaran kedua Prancis, ditambah ketidakpastian pencalonan Presiden Joe Biden, investor kemungkinan akan menggunakan dolar AS sebagai aset lindung nilai terbaik terhadap peristiwa-peristiwa berisiko tersebut," kata Alex Loo, Macro Strategist di Toronto-Dominion Bank di Singapura, dilansir oleh Bloomberg.

Pemilu putaran dua di Prancis akan dihelat pada 7 Juli pekan ini.

"Vibecession" RI menguat

Dari dalam negeri, sentimen juga masih cenderung suram. Indonesia mencatat penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial, seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, gelagat vibecession, yakni ketika persepsi masyarakat terhadap kondisi ekonomi bertolak belakang dengan data ekonomi yang tersedia, terlihat semakin kuat akhir-akhir ini. 

Data deflasi dalam dua bulan berturut-turut seolah menyalakan alarm tentang kondisi terkini perekonomian masyarakat kebanyakan yang ditengarai tengah mengalami tekanan daya beli.

Menilik data historis, terakhir kali Indonesia mencatat deflasi berturut-turut adalah pada saat pandemi Covid-19 masih merajalela pada 2020. Deflasi berturut-turut terakhir terjadi pada Juli-September 2020 silam. Bulan-bulan itu, perekonomian domestik bisa dibilang mati suri akibat social distancing demi menghambat penyebaran virus Covid-19.

Kemarin, S&P Global juga mencatat penurunan aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI). Pada Juni, angkanya sebesar 50,7. 

Meski masih di zona ekspansi, namun angka itu jauh melambat ketimbang Mei yang sebesar 52,1. Skor tersebut juga menjadi yang terendah sejak Mei tahun lalu.

“Penurunan PMI disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan output dan permintaan. Produksi tumbuh dalam laju terlemah sejak Mei 2023, sementara pemesanan baru tumbuh di posisi terlemah dalam 13 bulan terakhir. Permintaan ekspor yang masih lemah lagi-lagi menjadi beban,” demikian disebut dalam pernyataan tertulis S&P Global.

Hilangnya momentum produksi dan pemesanan membuat permintaan bahan baku ikut menurun. Pemesanan bahan baku memang masih tumbuh, tetapi terendah sejak November 2022.

(rui)

No more pages