Logo Bloomberg Technoz

Garis Kemiskinan ditetapkan sebesar Rp582.932 per kapita per orang, naik 5,9% dibandingkan Maret 2023.

Data-data terbaru yang dirilis itu seharusnya bisa membantu peningkatan optimisme masyarakat dalam berbelanja dan mengerek ekspansi usaha, sehingga perekonomian ikut bergerak lebih laju. Namun, yang terjadi sepertinya sebaliknya seperti terlihat dari data-data lain yang juga baru dirilis. Ada indikasi gejala pelemahan ekonomi yang semakin kentara.

Deflasi terjadi pada Juni, menandai penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dalam dua bulan berturut-turut. Deflasi dua bulan berturut-turut bisa dibaca sebagai salah satu sinyal pelemahan ekonomi alih-alih keberhasilan pengendalian harga.

Masyarakat mengerem belanja atau memiliki keterbatasan dalam membelanjakan uang, sehingga harga barang melandai. Sesuatu yang perlu dicermati karena terjadi justru ketika nilai rupiah selama Juni terpuruk melemah. Pelemahan nilai tukar biasanya mempengaruhi imported inflation yang bisa memicu lonjakan inflasi. Namun, yang terjadi pada Juni malah sebaliknya.

Deflasi dua bulan berturut-turut di Indonesia terakhir terjadi saat pandemi Covid-19 masih merajalela (Bloomberg)

Sebagai catatan, bila menilik data historis, terakhir kali Indonesia mencatat deflasi berturut-turut adalah pada saat pandemi Covid-19 masih merajalela pada 2020. Deflasi berturut-turut terakhir terjadi pada Juli-September 2020 silam. Bulan-bulan itu, perekonomian domestik bisa dibilang mati suri akibat social distancing demi menghambat penyebaran virus Covid-19.

Laba Korporasi Anjlok

Dunia usaha terutama di sektor komoditas menghadapi pelemahan pendapatan di mana itu tecermin dari setoran Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha yang anjlok pada Mei lalu.

 [Penurunan setoran PPh badan usaha yang anjlok] ini artinya perusahaan-perusahaan mengalami penurunan signifikan dari sisi profitabilitas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati

Kementerian Keuangan mencatat, setoran PPh korporasi anjlok hingga 35,7% pada Mei secara netto. "Ini artinya perusahaan-perusahaan mengalami penurunan signifikan dari sisi profitabilitasnya," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, di Jakarta, Kamis (27/6/2024).

PPh Badan Usaha menjadi salah satu kontributor utama keseluruhan penerimaan pajak. Alhasil, ketika terjadi penurunan lini ini, secara keseluruhan penerimaan negara juga ikut terseret turun. 

Anjloknya penerimaan pajak PPh Badan Usaha memberi cerminan lebih terang tentang tekanan yang dialami para pelaku usaha saat ini, sebagian besar terimbas penurunan harga komoditas di pasar global sejak tahun lalu.

Badai PHK

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga mencatat angka mengkhawatirkan. Mengacu pada data yang dilansir oleh Kementerian Tenaga Kerja, selama Januari-April, pekerja yang terpaksa menjadi pengangguran mencapai 18.829 orang, naik 24% dibanding Januari-April 2023 lalu.

Bila memerinci data bulanan yang dilansir oleh Kementerian, lonjakan PHK pada April adalah yang tertinggi kenaikannya, mencapai 37% dibanding bulan Maret. Pada April saja, jumlah PHK mencapai 6.434 orang. Bulan-bulan sebelumnya angkanya berurutan sebesar 3.332 orang pada Januari, 4.362 orang pada Februari dan 4.701 orang pada Maret.

Ratusan buruh tekstil menggelar aksi demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (27/6/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Bila laju PHK empat bulan pertama tahun ini berlanjut pada kecepatan yang sama, bukan tidak mungkin hingga akhir tahun nanti, terjadi lonjakan jumlah PHK yang melampaui 2023. Padahal pada tahun lalu, jumlah PHK sudah menembus level tertinggi dalam tiga tahun.

Sebagai gambaran, ketika pandemi Covid-19 merebak pada 2020, terjadi PHK sebanyak 386.877 orang. Lalu pada 2021 angkanya mulai turun menjadi 127.085 orang dan pada 2022 angkanya makin berkurang menjadi 25.114 orang. Namun, pada 2023, angka PHK kembali melesat tinggi mencapai 64.855 orang, sehingga menjadi yang tertinggi sejak 2021.

Semakin banyaknya PHK seharusnya menjadi peringatan bagi pemangku kebijakan agar tidak berlanjut dan membawa dampak semakin luas pada perekonomian. Beberapa indikator sejatinya sudah memberikan peringatan yang serupa yang sebaiknya tidak diabaikan.

Data pertumbuhan ekonomi pada kuartal 1-2024 secara kuartalan mencatat kontraksi atau penurunan pertumbuhan sebesar 0,83%. Yang perlu digarisbawahi, kontraksi pertumbuhan terutama terjadi di sektor lapangan usaha yang padat karya.

Di antaranya, industri pengolahan yang menjadi tulang punggung, pertumbuhannya turun -0,35% pada kuartal 1 lalu. Disusul oleh sektor konstruksi yang juga turun -2,57%. Sektor pertanian yang juga banyak menyerap tenaga kerja hanya tumbuh 0,01% secara kuartalan dan mencatat kontraksi -3,54% secara tahunan. Sektor perdagangan juga hanya tumbuh 0,12%.

Mirip Pandemi

Beberapa data yang telah dirilis bahkan memperlihatkan kondisi saat ini mirip dengan pandemi. Kinerja penjualan riil pada Lebaran tahun ini pada April adalah yang terlemah pasca pandemi, tercatat turun atau terkontraksi 2,7% dibanding April 2023. 

Sementara secara bulanan, kinerja penjualan eceran riil pada April juga melambat dengan pertumbuhan hanya 0,4% setelah pada Maret melompat 9,9%. 

Capaian kinerja penjualan riil itu menjadi yang terendah bila dibanding masa-masa Lebaran sebelumnya. Lebaran 2023 yang jatuh pada akhir April mencatat pertumbuhan kinerja penjualan eceran riil masih tumbuh 1,5%, di mana itu sudah lebih rendah dibanding Lebaran 2022 yang jatuh pada awal Mei.

Ketika itu penjualan eceran masih mencatat kenaikan 2,9%. Kinerja penjualan ritel Lebaran 2022 mungkin lebih terlihat pada angka April di mana saat itu retail sales mencatat pertumbuhan 8,5%.

Dengan demikian, capaian penjualan ritel pada Lebaran tahun ini adalah yang pertama kali membukukan kontraksi setelah era pandemi Covid-19 berlalu. Ketika pandemi pecah, penjualan ritel anjlok tajam hingga terkontraksi double digit pada 2020-2021 akibat perekonomian mati suri.

Situasi yang suram juga tecermin dari tingkat keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini dan masa mendatang, yang ikut melemah. Hasil Survei Konsumen yang dilansir 10 Juni lalu mencatat, konsumen menilai kondisi perekonomian RI saat ini dinilai lebih buruk dibanding enam bulan yang lalu akibat keterpurukan kondisi penghasilan, juga sempitnya lapangan kerja. Alhasil, tingkat keyakinan masyarakat RI terhadap situasi ekonomi ke depan terkikis, 

Situasi yang dinilai lebih buruk dibanding enam bulan lalu membuat ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan juga melemah. Penghasilan enam bulan ke depan diperkirakan menurun terutama di kelas ekonomi bawah yang mencatat penurunan Indeks Ekspektasi Penghasilan terdalam hingga 7,9 poin.

Keyakinan terhadap ketersediaan lapangan kerja ke depan juga melorot terutama di kalangan pendapatan menengah dan atas. Bahkan kalangan ekonomi atas dengan pengeluaran di atas Rp5 juta mencatat penurunan ekspektasi kegiatan usaha terbesar pada Mei.

Prospek Melemah

Hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Bloomberg terhadap 36 ekonom pada Juni, memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2024 diperkirakan tumbuh 3,73% secara kuartalan setelah mengalami kontraksi pada kuartal 1-2024 sebesar -0,83%.

Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia versi survei Bloomberg Juni 2024 (Bloomberg)

Namun, pada kuartal III-2024, pertumbuhan ekonomi RI diprediksi melemah lagi di angka 1,6% quarter-to-quarter dan pada kuartal akhir tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 0,44%. Alhasil, sepanjang 2024, Produk Domestik Bruto (PDB) RI diprediksi hanya akan tumbuh 5% pada 2024, melambat dari capaian tahun lalu di angka 5,05%. Lalu pada 2025 dan 2026, Indonesia diprediksi hanya tumbuh 5,1%.

Survei dilakukan selama 20-26 Juni terhadap 36 ekonom. Meski begitu, "Potensi resesi ekonomi di Indonesia dalam 12 bulan ke depan angkanya 0%," kata 11 ekonom yang disurvei.

Tingkat inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan akan bergerak di kisaran 2,91%, lebih kecil dibanding survei sebelumnya yang memprediksi inflasi sebesar 2,94% year-on-year. 

(rui/aji)

No more pages