Bloomberg Technoz, Jakarta - Selama ini, Bank Indonesia (BI) meyakini telah memiliki sejumlah instrumen moneter untuk menjadi obat kuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), salah satunya, Sertifikat Berharga Bank Indonesia (SRBI). Namun, instrumen ini dinilai justru dapat mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah akibat keluarnya dana asing dari SRBI, dan penerbitan SRBI yang lebih agresif untuk pembayaran kembali atau refinancing.
Berdasarkan data Bahana Sekuritas, total penyerapan SRBI telah melampaui Rp805 triliun (US$49 miliar) sejak pertama kali diluncurkan. Angka ini sudah memperhitungkan pengumpulan dana BI pada lelang Jumat (28/6/2024) lalu yang sebesar Rp18 triliun.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai, karena surat berharga rupiah ini memiliki tenor yang pendek, yakni 6 bulan, 9 bulan, dan 12 bulan, maka akan terdapat gelombang surat utang yang akan jatuh tempo pada bulan-bulan mendatang. Hal ini dapat mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah akibat keluarnya dana asing dari SRBI, dan penerbitan SRBI yang lebih agresif untuk pembayaran kembali atau refinancing.
"Diskusi kami dengan pejabat BI menunjukkan bahwa bank sentral bermaksud mempertahankan pemanfaatan SRBI yang kuat dalam beberapa bulan mendatang untuk mendukung rupiah," ujar Satria dalam hasil risetnya, dikutip Senin (1/7/2024).
Dalam hal ini, Satria menilai BI kini berupaya mengelola trinitas atau tiga peran yang mustahil dalam kebijakan moneter, yakni dengan memprioritaskan SRBI untuk menarik arus masuk asing (mobilitas modal) dibandingkan intervensi valuta asing sebagai bentuk manajemen nilai tukar, atau penyesuaian suku bunga BI sebagai otonomi kebijakan moneter.
Menurut dia, SRBI dirancang untuk menarik dana asing, namun data menunjukkan bahwa instrumen ini belum memperluas kumpulan Valas dalam negeri secara signifikan.
"Kami menemukan bahwa surat berharga rupiah/SRBI hanya sekedar menggeser atau crowd out bank-bank asing pemilik SBN/SBN," kata Satria.
Misalnya, dia menjelaskan, kepemilikan asing di SRBI meningkat sebesar Rp77 triliun pada Mei 2024, kemungkinan besar berasal dari SBN, yang kepemilikan asingnya secara kumulatif menurun sebesar -Rp52,7 triliun dari bulan Januari hingga April.
BI telah menerima hampir seluruh penawaran yang masuk untuk SRBI, bahkan ketika imbal hasil (yield) jauh lebih tinggi dari target indikatifnya, sebagaimana dibuktikan oleh rasio bid-to-cover yang tinggi. Namun, menurut Satria, penjualan SRBI yang agresif telah mendistorsi kurva imbal hasil obligasi pemerintah dan pasar uang, sehingga secara efektif menguras likuiditas rupiah dari ekuitas, obligasi, dan deposito perbankan.
"Perlu dicatat bahwa posisi bank-bank komersial terhadap SRBI dan SBN (net buy/sell) bergerak berlawanan arah, yang menyiratkan adanya transfer likuiditas," tutur Satria.
Dia mengatakan terdapat juga risiko bahwa pembentukan kurva imbal hasil ganda (SRBI dan JIBOR) dapat menyebabkan kebijakan moneter tidak efektif dalam jangka panjang.
"Dalam pandangan kami, suku bunga SRBI secara bertahap dapat menjadi suku bunga kebijakan de facto. Misalnya, transmisi moneter dari kenaikan BI-rate pada bulan Oktober dan April relatif lambat, di mana bank-bank komersial hanya menaikkan suku bunga deposito ketika suku bunga SRBI melonjak pada Mei.
(lav)