Menurut dia, SRBI dirancang untuk menarik dana asing, namun data menunjukkan bahwa instrumen ini belum memperluas kumpulan Valas dalam negeri secara signifikan.
"Kami menemukan bahwa surat berharga rupiah/SRBI hanya sekedar menggeser atau crowd out bank-bank asing pemilik SBN/SBN," kata Satria.
Misalnya, dia menjelaskan, kepemilikan asing di SRBI meningkat sebesar Rp77 triliun pada Mei 2024, kemungkinan besar berasal dari SBN, yang kepemilikan asingnya secara kumulatif menurun sebesar -Rp52,7 triliun dari bulan Januari hingga April.
BI telah menerima hampir seluruh penawaran yang masuk untuk SRBI, bahkan ketika imbal hasil (yield) jauh lebih tinggi dari target indikatifnya, sebagaimana dibuktikan oleh rasio bid-to-cover yang tinggi. Namun, menurut Satria, penjualan SRBI yang agresif telah mendistorsi kurva imbal hasil obligasi pemerintah dan pasar uang, sehingga secara efektif menguras likuiditas rupiah dari ekuitas, obligasi, dan deposito perbankan.
"Perlu dicatat bahwa posisi bank-bank komersial terhadap SRBI dan SBN (net buy/sell) bergerak berlawanan arah, yang menyiratkan adanya transfer likuiditas," tutur Satria.
Dia mengatakan terdapat juga risiko bahwa pembentukan kurva imbal hasil ganda (SRBI dan JIBOR) dapat menyebabkan kebijakan moneter tidak efektif dalam jangka panjang.
"Dalam pandangan kami, suku bunga SRBI secara bertahap dapat menjadi suku bunga kebijakan de facto. Misalnya, transmisi moneter dari kenaikan BI-rate pada bulan Oktober dan April relatif lambat, di mana bank-bank komersial hanya menaikkan suku bunga deposito ketika suku bunga SRBI melonjak pada Mei.
(lav)