Yen telah terjebak pada level terendah dalam tiga dekade terakhir dalam beberapa bulan terakhir, membuat segalanya mulai dari makan siang sushi omakase hingga steak wagyu A5 premium menjadi jauh lebih terjangkau.
Berikut adalah enam grafik yang menunjukkan ledakan perjalanan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jepang:
Momentum yang Berkelanjutan
Jepang menyambut lebih dari 3 juta pengunjung selama tiga bulan berturut-turut pada bulan Mei, dengan mayoritas datang dari Korea Selatan, China, dan Taiwan. Lebih dari satu juta orang Amerika melakukan perjalanan jarak jauh dari AS dalam lima bulan pertama tahun ini — naik 50% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2019.
Jumlah wisatawan dari 19 pasar — termasuk semua negara anggota G-7 tahun ini memecahkan rekor mereka untuk bulan Mei. Wisatawan China tertinggal dari wisatawan global lainnya sejak awal tahun, meskipun kesenjangan tersebut semakin mengecil. Jepang telah terbukti menjadi pilihan utama bagi wisatawan China musim panas ini.
Berdasarkan analisis Bloomberg Intelligence, Jepang akan menerima rekor 34 juta pengunjung tahun ini, mengalahkan target pemerintah untuk melampaui jumlah pengunjung tahun 2019 satu tahun lebih awal.
Perdana Menteri Fumio Kishida tetap pada tujuan jangka panjang untuk mencapai 60 juta pengunjung asing per tahun pada tahun 2030.
Sebaliknya, kurangnya daya beli di luar negeri telah mengurangi minat para pelancong Jepang, dan jumlah yang pergi ke luar negeri masih hanya mencapai sekitar 60% dari puncaknya sebelum Covid.
Lonjakan Pengeluaran
Seiring dengan meningkatnya jumlah pengunjung, juga meningkat jumlah uang yang mereka habiskan selama perjalanan mereka. Uang turis menjadi jauh lebih berdaya beli berkat yen yang lemah, yang telah jatuh ke level terendah sejak 1986, dan orang-orang tidak ragu untuk membuka dompet mereka untuk mendapatkan penawaran dari hotel, barang mewah, hingga perjalanan ke taman hiburan.
Para wisatawan menghabiskan rekor ¥1,75 triliun (Rp177 triliun) pada kuartal pertama tahun ini, dan angka tersebut kemungkinan besar akan melonjak seiring dengan meningkatnya jumlah pengunjung dari China. Mereka menghabiskan dua kali lipat dari rata-rata turis, menurut Badan Pariwisata Jepang.
Harga Hotel
Hotel di Jepang mengalami kenaikan harga, namun masih lebih murah dibandingkan dengan pesaing global mereka.
Menurut CoStar Group, yen yang lemah dan musim bunga sakura yang sangat populer telah mendorong harga hotel nasional mencapai level tertinggi dalam hampir tiga dekade pada bulan Maret. Tarif rata-rata kamar per hari sekitar ¥20.986 (Rp2,1 juta), level tertinggi sejak 1997.
Meskipun tarif di Tokyo lebih tinggi, dengan rata-rata US$177 (Rp2,8 juta) untuk tahun yang berakhir Maret 2024, kota ini masih tergolong murah dibandingkan dengan kota-kota seperti New York, di mana rata-rata biaya kamar melebihi US$300 (Rp4,9 juta) per malam, atau Singapura, di mana tarif melebihi US$250 (Rp4 juta).
Permintaan Penerbangan
Semakin banyak wisatawan berarti lebih banyak transportasi. Sebanyak 37 juta penerbangan dijadwalkan berangkat secara global tahun ini, menurut data industri yang dikompilasi oleh BloombergNEF.
Dan sekitar satu juta di antaranya diperkirakan akan mendarat di Jepang hingga akhir 2024. Namun, tidak semua berita baik bagi Jepang, dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang membebani transportasi dan infrastruktur lokal.
Jadi, jika kalian memiliki rencana untuk melakukan trip ke Jepang, kemungkinan besar Anda tidak akan sendirian. Tetapi jika Anda mencari kesepakatan, ini bisa menjadi momen yang sempurna untuk melakukan perjalanan seumur hidup.
(bbn)