Ada cukup banyak produk yang dikonsumsi masyarakat luas sehari-hari seperti roti, tempe, tahu, bahkan bawang putih, sejatinya memiliki asal usul sebagai barang impor. Tepung gandum misalnya yang menjadi bahan baku roti dan mi, merupakan produk impor, terutama dari Eropa dan Amerika.
Mengacu data BPS, pada Januari lalu, Indonesia mengimpor sekitar 823,22 ribu ton gandum senilai US$ 328,41 juta. Dalam setahun, impor gandum Indonesia rata-rata mencapai 10-11 juta ton. Pecahnya krisis di Ukraina tahun lalu melejitkan harga gandum dan memicu juga kenaikan harga mi dan roti di dalam negeri.
Begitu juga impor bahan dapur lain seperti kedelai yang menjadi bahan baku tempe dan tahu, makanan yang hampir selalu ada di meja dapur orang Indonesia. Kedelai mayoritas diimpor dari Amerika dengan rata-rata nilai impor setahun di atas 2 juta ton. Pada Januari lalu, total impor kedelai Indonesia mencapai 218,49 ribu ton senilai US$ 145,46 juta.
Pamor Naik, Amunisi Banyak
Bank sentral Amerika, Federal Reserve, diprediksi akan segera mengakhiri serial kenaikan bunga acuan sejurus dengan sinyal disinflasi yang makin menguat di negara itu. Terakhir, data ketenagakerjaan di Amerika lebih rendah daripada perkiraan pasar. Bila ekspektasi terhadap berhentinya pengetatan moneter di AS terjadi, itu menjadi kabar bagus bagi daya tarik pasar keuangan domestik.
Dana para pemodal asing akan semakin banyak masuk dan sebagai dampak langsung, penguatan rupiah akan berlanjut. Ada potensi dana asing mengalir masuk (capital inflow) sebesar US$ 1 miliar - Rp 2 miliar atau sekitar Rp 15 triliun - Rp 30 triliun, ke pasar keuangan Indonesia pada April saja, menurut analisis Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi. Dana asing terutama akan menyerbu obligasi negara.
Di sisi lain, amunisi penguatan rupiah dari dalam negeri juga makin banyak. Terakhir, lelang term deposit valas Devisa Hasil Ekspor yang digelar oleh Bank Indonesia, perlahan semakin banyak menarik para dolar AS para eksportir. Dalam lelang pertama bulan ini, BI berhasil menarik penawaran masuk U$ 56 juta, tertinggi dalam empat lelang terakhir.
"Dengan penguatan rupiah, maka biaya dari sisi supply bisa dikendalikan. Itu artinya, harga jual produk pun bisa lebih terkendali ke masyarakat sehingga inflasi domestik bisa terjaga."
Chief Economist Bank Mandiri Faisal Rachman
“Memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi terutama imported inflation melalui intervensi di pasar valas dengan transaksi spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) serta pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder,” ungkap Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, pertengahan Maret lalu.
Amunisi rupiah juga datang dari kecukupan cadangan devisa yang masih di level memadai sebesar US$ 140,31 miliar sampai akhir Februari lalu, nilainya dua kali lipat pada 2008. Disusul kebijakan operasi twist yang memungkinkan bank sentral mendongkrak daya tarik yield Surat Berharga Negara (SBN) jangka pendek sembari meredam dampak kenaikan bunga acuan pada obligasi jangka panjang. Lalu, kebijakan mekanisme penanganan krisis yang memungkinkan BI membeli SBN langsung di pasar perdana dalam jumlah tertentu.
Rupiah Kuat = Daya Beli Sehat
Harga barang yang semakin murah karena penurunan imported inflation, akan menambah energi bagi kebangkitan daya beli masyarakat. Seperti diketahui, motor utama perekonomian Indonesia adalah pada konsumsi rumah tangga.
Sejak dihantam pandemi, tingkat konsumsi masyarakat masih belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi Covid-19, selain juga karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada September 2022.
Di sisi lain, langkah BI menegaskan level bunga acuan saat ini sudah memadai juga akan membantu daya beli masyarakat bangkit lebih cepat.
“Ketika rupiah menguat dan menurunkan imported inflation, ruang kenaikan bunga acuan semakin tertutup dan memengaruhi bunga pinjaman. Jadi, [penguatan rupiah] membuat purchasing power masyarakat terjaga,” jelas ekonom.
Kedatangan musim perayaan Ramadan dan Lebaran diharapkan bisa mengungkit kinerja konsumsi rumah tangga lebih cepat sehingga perekonomian domestik bisa tumbuh sesuai ekspektasi.
Secara umum, perlambatan ekonomi global akan memengaruhi kinerja perekonomian Indonesia tahun ini. Asian Development Bank (ADB) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 1-2023 akan melambat di kisaran 4,8% karena pertumbuhan konsumsi masyarakat yang moderat dan pelemahan ekspor imbas dari perlambatan ekonomi global.
Dengan ekspektasi terhadap penguatan rupiah bisa lebih lama, ada harapan konsumsi masyarakat bisa kembali ke level sebelum pandemi lebih cepat. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi RI bisa tetap tangguh di tengah tekanan global yang suram sepanjang 2023.
(rui/evs)