"Praktik ilegal itu tidak bisa berdiri sendiri kalau tidak ada backing, modal, bahkan tidak ada dukungan equipment (alat keja) yang tidak murah. Karena untuk satu produksi saja membutuhkan biaya Rp500-an juta. Kalau rakyat biasa jelas enggak mungkin. Pasti ada penyokong dan pemodalnya," ungkap Politisi Fraksi PKB ini.
Menurut Luluk, ekosistem pertambangan ilegal melibatkan semua pihak, dari pemodal, pengepul, aparat keamanan, sampai masyarakat kecil sebagai pekerjanya. Keuntungan dari hasil pertambangan ilegal itu sudah mengalir ke mana-mana, baik korporasi besar di dalam dan luar negeri, sampai penegak hukum.
"Kalau kita bicara penegakan hukum, ini juga masalah, karena aparat penegak hukum sendiri (diduga) masuk ekosistem kejahatan pertambangan yang sudah berjalan sekian lama," ulas Luluk.
Hal ini juga yang membuat anggota Panja Timah dari PDIP, Rieke Diah Pitaloka meminta Kejaksaan Agung tak hanya berfokus pada nama populer di masyarakat dalam penanganan kasus korupsi PT Timah Tbk. Menurut dia, korps Adhyaksa juga harus mampu mengungkap para beking yang melindungi dan mempelancar praktek korupsi dan tambang ilegal yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp270 triliun tersebut.
“Kalau masih bisa beroperasi, pertanyaan berikutnya siapa backing-nya. Nah, itu yang harus ditelusuri oleh kejaksaan," kata Rieke.
"Itu yang harus ditelusuri oleh kejaksaan. Jangan di permukaan yang nama artisnya saja diangkat dan ditangkap."
Hingga saat ini, Kejaksaan sendiri telah menetapkan 22 tersangka dalam kasus korupsi tersebut. Beberapa tersangka lainnya bahkan dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dari daftar tersangka, sejumlah pihak mendesak kejaksaan untuk menyasar para pengendali praktek korupsi yang dinilai belum menjadi tersangka. Penyidik baru menjerat sejumlah petinggi perusahaan PT Timah Tbk, perusahaan smelter, pejabat pemerintah, dan pengusaha yang populer seperti suami Sandra Dewi, Harvey Moeis dan Helena Lim.
(red/frg)