Sepinya minat pasar ditandai dengan incoming bids yang hanya Rp26,79 triliun, terendah sejak 26 April, akhirnya membuat BI memberikan bunga tinggi hingga 7,50% untuk SRBI-12M, lalu 7,38% untuk SRBI-9M dan 7,28% untuk SRBI-6M. Tingkat bunga SRBI-12M itu menjadi yang tertinggi sejak 8 Mei lalu. Alhasil, selisih policy rate dengan bunga SRBI kembali melebar menjadi 125 bps.
Bunga SRBI yang kian mahal juga berimbas ke pasar surat utang terbitan pemerintah. Dalam lelang terakhir Surat Utang Negara (SUN), permintaan imbal hasil juga ikut naik.
Kebutuhan pembiayaan APBN yang besar di tengah keuangan negara yang mulai defisit, membuat pemerintah mau tidak mau akhirnya memberikan bunga tinggi dalam lelang tersebut.
Beberapa seri favorit seperti FR0100, diberikan imbal hasil hingga 7,09%, naik 7,1 bps dibanding lelang sebelumnya. Begitu juga seri FR0098 dan FR0097 yang naik sampai 10,03 bps dan 10,01 bps menjadi 7,14% dan 7,16%.
Tingkat suku bunga di pasar yang makin menjulang itu pula yang membuat pemerintah masih agak mengerem penerbitan SBN ketika belanja mulai ekspansif dan penerimaan negara mencatat penurunan dua bulan berturut-turut. Bunga SBN yang tinggi akan membuat biaya pembiayaan APBN makin mahal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan, sampai akhir Mei lalu, pembiayaan anggaran melalui penarikan utang baru mencapai Rp132,2 triliun, turun 12,2% dibanding Mei 2023. Pembiayaan utang terutama bersumber dari penjualan SBN sebesar Rp141,6 triliun, turun 2% year-on-year dan setara 21,3% terhadap APBN.
Menkeu menjelaskan, penambahan utang melalui emisi SBN yang tidak agresif adalah karena kewaspadaan terhadap tren sektor keuangan global yang bergejolak dengan kecenderungan tingkat bunga tinggi dalam waktu lama.
"Artinya, kami berhati-hati agar tidak terekspos terhadap lingkungan dan tren sektor keuangan global yang cenderung higher for longer dan pressure terhadap rupiah," kata Sri Mulyani dan konferensi pers APBNKita Edisi Mei,di Jakarta, Kamis (27/6/2024).
Tingkat bunga SRBI yang terus mendaki berimbas pada pergerakan tingkat bunga di pasar uang antar bank. Mengacu data IndONIA, Rabu (26/6/2024), angkanya kembali meningkat ke 6,121%, setelah sebelumnya sempat menyentuh 6,0494% pada awal pekan ini. Kemarin Kamis, tingkat IndONIA kembali landai di 6,09%.
Ketatnya likuiditas akhirnya berdampak pula pada pergerakan suku bunga pinjaman yang disediakan oleh perbankan. Berdasarkan asesmen terbaru yang dilansir BI beberapa waktu lalu, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) naik pada April, melanjutkan tren kenaikan dalam dua kuartal terakhir, yaitu ke level 8,84%.
Kenaikan SBDK itu akhirnya mendorong naik tingkat bunga kredit baru di mana secara agregat terjadi kenaikan 72 bps dibanding bulan sebelumnya menjadi 10,05%.
"Kenaikan suku bunga kredit baru diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit secara agregat kendati dengan besaran yang lebih terbatas yaitu 1 bps ke level 9,26% pada Mei 2024. Kenaikan suku bunga kredit baru terjadi pada seluruh kelompok bank, khususnya pada bank swasta nasional," jelas Bank Indonesia.
Kenaikan bunga kredit terjadi mayoritas di sektor non-jasa seperti sektor konstruksi, pertambangan dan industri pengolahan, menjadi ke kisaran 7,73%-8,32%.
NPL Mulai Naik
Bank Indonesia mencatat, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) bank pada April, data terakhir yang dipublikasi, adalah sebesar 2,33% (bruto) dan 0,81% (neto).
Angka itu, meski masih jauh dari level kewaspadaan di 5%, mencerminkan peningkatan bila dibanding posisi akhir 2023 yang sebesar 2,19%.
Dalam asesmen suku bunga kredit terakhir yang dirilis 20 Juni lalu, BI mencatat, rata-rata tertimbang NPL perbankan ada di 2,34%.
Penurunan kualitas kredit yang terindikasi dari peningkatan NPL bisa dilihat sebagai buntut dari kenaikan bunga pinjaman bank menyusul kondisi likuiditas pasar yang ketat, ketika nasabah baik korporasi maupun individu telah menghadapi pelemahan kondisi keuangan.
Dunia usaha terutama di sektor komoditas menghadapi pelemahan pendapatan di mana itu tecermin dari setoran pajak penghasilan (PPh) Badan Usaha yang anjlok pada Mei.
Kementerian Keuangan mencatat, setoran PPh korporasi anjlok hingga 35,7% pada Mei secara netto.
"Ini artinya perusahaan-perusahaan mengalami penurunan signifikan dari sisi profitabilitasnya," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, di Jakarta, Kamis (27/6/2024).
Catatan Bank Indonesia, beberapa sektor usaha membukukan rasio kredit bermasalah yang perlu diwaspadai. "Mayoritas sektor nonjasa mengalami penurunan kualitas kredit dalam tiga bulan terakhir meski dengan suku bunga yang relatif tidak berubah signifikan," kata BI.
Di antaranya adalah sektor konstruksi dan industri pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan masuk di kuadran bunga tinggi dan NPL juga tinggi.
(rui/aji)