Bhima mengatakan setidaknya terdapat beberapa indikasi penyebab yang memengaruhi keputusan BASF-Eramet hengkang dari Sonic Bay dan perlu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia.
Pertama, pernyataan dari BASF yang mengatakan bahwa pembangunan smelter berbasis high pressure acid leaching (HPAL) tidak lagi diperlukan.
Bhima melihat terdapat potensi investor dari Jerman itu memiliki pandangan nikel Indonesia yang digunakan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau EV makin terbatas.
Sekadar catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan cadangan nikel limonit cukup hingga 33 tahun ke depan.
Limonit merupakan nikel kadar rendah yang umumnya diolah melalui sistem HPAL untuk menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP) yang dibutuhkan untuk bahan baku baterai EV.
“Ketahanan cadangan nikel kita, saprolit ini kira-kira kita masih punya 13 tahun, limonit kita masih ada sekitar 33 tahun,” ujar Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ing Tri Winarno di Komisi VII DPR RI, Selasa (19/3/2024).
Sejalan dengan itu, Bhima mengatakan, terdapat alternatif baterai lain yang tidak membutuhkan bahan baku nikel, seperti lithium ferro-phosphate (LFP).
Belum lagi, Bhima menganggap, terdapat ketidakpastian penyuplai bijih nikel. “Sehingga mereka memilih untuk lebih membeli dari intermediary ataupun dari pihak ketiga. Nah, ini tentu posisi yang menguntungkan China. Mereka akan membeli dari China alih-alih membangun pabrik di Indonesia.”
Dilacak UE
Kedua, terdapat indikasi penyebab hengkang berkaitan dengan aturan di negara-negara maju seperti di Uni Eropa (UE) yang mengeluarkan aturan European Union Due Diligence. Aturan itu bakal melacak aliran rantai pasok, yang selama ini menjadi kelemahan nikel di Indonesia.
Dengan demikian, UE bakal kesulitan untuk melacak asal-usul nikel di Indonesia karena kurangnya pendataan. Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa nikel Indonesia tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan, mulai dari lingkungan hingga keselamatan pekerja.
Dengan demikian, Bhima menilai pemerintah Indonesia harus memperbaiki seluruh tata kelola penghiliran nikel.
“Ini menjadi momentum yang krusial. Tidak boleh ada lagi kecelakaan kerja apalagi yang mengakibatkan kerugian jiwa meninggalnya para pekerja,” ujarnya.
Hal lain yang juga perlu menjadi bagian dari perbaikan adalah permasalahan lingkungan dari hilirisasi nikel, karena smelter masih didukung oleh energi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Apalagi, perusahaan beken seperti BASF dan Eramet harus menjaga citra perusahaan dengan menaati peraturan soal keberlanjutan.
“Jadi Indonesia tidak bisa lagi menyepelekan isu keberlanjutan jika ingin menarik investasi untuk pengolahan hilirisasi yang lebih berkualitas,” ujarnya.
Kabar hengkangnya 2 investor di proyek Sonic Bay pertama kali terdengar usai BASF mengunggah pernyataan resmi untuk mundur dari proyek senilai US$2,6 miliar (sekitar Rp42,64 triliun asumsi kurs saat ini) itu.
“Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda,” tulis BASF SE dalam pernyataannya, dikutip Rabu (26/5/2024).
Selang beberapa waktu, Eramet juga mengumumkan untuk mundur dari proyek. Namun, perusahaan asal Prancis tersebut menyatakan akan terus mengevaluasi investasi potensial dari rantai nilai baterai kendaraan listrik atau EV berbasis nikel di Indonesia.
Dalam pernyataan resminya, BASF –perusahaan kimia terbesar di dunia asal Jerman– mengatakan ketersediaan nikel berkualitas baterai secara global telah meningkat sejak proyek ini dimulai. Dengan demikian, perusahaan tidak lagi melihat perlunya investasi sebesar itu.
Di lain sisi, Eramet dalam pernyataan resmi belum mengungkap alasan yang melandasi keputusan hengkang tersebut.
Namun, Eramet dalam pernyataan tertulis ke Bloomberg Technoz mengungkapkan bahwa keputusan hengkangnya setidaknya dilandasi oleh 3 alasan.
Pertama, strategi eksekusi terkait proyek dengan BASF. Eramet menyatakan tidak berhasil mendapatkan skema eksekusi yang memuaskan, termasuk syarat dan ketentuan kontrak.
Kedua, alokasi modal. Dalam hal ini, Eramet ingin berpartisipasi dalam rantai nilai baterai di Indonesia, tetapi juga selektif dengan alokasi modal.
“Pada saat yang sama, Eramet juga sedang mengkaji peluang lain untuk rantai nilai EV, seperti nikel, litium, dan kobalt,” terang perusahaan dalam pernyataan tertulis ke Bloomberg Technoz.
Ketiga, pasar. Eramet menilai, pasar nikel global telah berubah selama beberapa tahun terakhir. Walhasil, perusahaan juga selektif dalam menambahkan potensi kelebihan kapasitas baru dari nikel kelas baterai
(dov/wdh)