Kesimpulan serupa juga didapatkan dari studi yang dimuat oleh European Journal of Public Health pada 2021. "Temuan utama dari penelitian ini adalah perjudian lebih umum terjadi pada kalangan pengangguran dan mereka yang kurang beruntung secara sosial. Yang paling menarik adalah, responden yang menerima bantuan sosial kemungkinan besar mengalami masalah perjudian," demikian seperti ditulis oleh Tiina Latvala dan rekan.
Di Indonesia, catatan sejarah menyebut kemunculan lotere totalisator (loto) pada dekade 1960-an yang menjangkiti masyarakat, tidak terlepas dari situasi resesi ekonomi yang parah pada akhir dekade tersebut.
Situasi kesulitan ekonomi, ketiadaan pekerjaan yang layak di tengah ketimpangan yang kian mencolok mata, pada satu titik dapat mendesak seseorang mengadu nasib dengan berjudi dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan ekonomi secara instan.
"Himpitan ekonomi mendorong pelaku judi togel menjadikan judi togel sebagai cara instan mendapatkan uang. Realita dari pola hidup yang cenderung konsumtif ditambah peningkatan harga-harga kebutuhan pokok akibat inflasi, membuat orang ingin mencapai segala sesuatu dengan cara praktis dan mudah, termasuk berjudi," demikian ditulis dalam studi deskriptif "Judi Togel dalam Kebudayaan Kemiskinan" oleh Galang Putranto, yang dimuat dalam Jurnal Universitas Airlangga, Surabaya, pada 2018.
Permasalahan judi online di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga sulit dilepaskan dari kondisi perekonomian yang lesu beberapa tahun terakhir.
Residu krisis pandemi yang telah memicu resesi pada 2020-2021 masih tersisa sampai saat ini. Kendati pandemi telah berakhir, perekonomian terlihat masih berjuang keras untuk bangkit sementara masalah judi online terlihat malah makin menjadi-jadi dan berisiko kian menguras perekonomian.
Pengangguran merajalela
Mengacu pada data statistik, persentase pengangguran di Indonesia mungkin sudah menurun. Pada Februari 2024, data terakhir yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran Indonesia tercatat sebesar 4,82%, sudah lebih rendah dibandingkan masa pandemi pada 2020 yang sempat menyentuh angka 7,07%.
Persentase pengangguran itu setara dengan 7,2 juta orang Indonesia, turun dibanding Februari 2023 yang masih sebanyak 7,99 juta orang. Namun, jumlah itu masih lebih besar dibandingkan masa sebelum pandemi pada 2019 lalu.
Selain itu, Indonesia juga mencatat kenaikan jumlah setengah pengangguran. Dari total jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 149,38 juta orang, sebesar 12,11 juta orang berstatus setengah pengangguran. Setengah penganggur biasa disebut juga sebagai pengangguran terpaksa, yakni mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal atau kurang dari 35 jam seminggu dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan. Angka itu menjadi jumlah terbesar dalam satu dekade terakhir.
Alhasil, bila digabungkan dengan angka pengangguran, maka di Indonesia saat ini terdapat 19,31 juta orang yang benar-benar tidak memiliki pekerjaan, atau memiliki pekerjaan tapi masih membutuhkan pekerjaan lain yang lebih layak untuk mendapat penghasilan memadai. Sebelum pandemi, jumlahnya baru sebesar 15,18 juta orang.
Pada saat yang sama, kebanyakan penduduk bekerja di Indonesia lebih banyak terserap di sektor informal. Jumlahnya mencapai 84,13 juta orang atau 59,2% dari total penduduk bekerja. Angka itu juga meningkat dibanding Agustus 2023 yang baru sebesar 82,66 juta orang.
Sektor informal yang dominan juga cermin sempitnya lapangan kerja berkualitas menilik ciri sektor informal adalah upah yang rendah, jaminan sosial dan kesejahteraan yang rendah.
Penghasilan tertekan harga
Lapangan kerja yang sempit, banyak pengangguran dan setengah penganggur, menjadi kombinasi yang runyam di tengah lonjakan harga barang yang belum terjeda sejak tahun lalu. Inflasi harga pangan bergejolak, termasuk beras yang menjadi kebutuhan pokok, masih tinggi di mana pada Mei lalu tercatat 8,14% year-on-year.
Pendapatan masyarakat terkuras pengeluaran yang makin besar akibat tekanan harga. Indeks Penghasilan Saat Ini pada Mei, yang mengukur kondisi pendapatan masyarakat berdasarkan hasil Survei Konsumen oleh Bank Indonesia, tercatat turun. Penurunan kondisi penghasilan terutama dialami oleh kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-4 juta per bulan.
Tekanan yang dialami oleh masyarakat akibat pengeluaran yang makin mahal, terjadi di kala ketimpangan di Indonesia makin melebar. Data BPS mencatat, Rasio Gini yang mengukur ketimpangan ekonomi pada Maret 2023 mencapai 0,388. Angka itu lebih tinggi dibanding September 2022 yang sempat menyentuh 0,381. Semakin besar angka Rasio Gini, semakin lebar pula ketimpangan di masyarakat.
Cerminan ketimpangan terlihat juga dari data distribusi simpanan di perbankan. Sampai April lalu, dari total dana simpanan di bank sejumlah Rp8.703 triliun, sebanyak Rp4.691 triliun atau 53,9% dikuasai oleh hanya 139.211 nasabah saja. Dengan kata lain, separuh duit yang ada di sistem perbankan dikuasai oleh 0,02% orang di negeri ini.
Sementara rekening berisi duit 'receh' dengan nilai saldo di bawah Rp100 juta, nilainya 'cuma' Rp1.054 triliun atau 12,1% dari total simpanan di bank. Angka itu dibagi oleh sekitar 567,4 juta rekening nasabah atau 98,8% dari total rekening nasabah di bank.
Ketimpangan juga terlihat dari rasio penguasaan lahan. Badan Pusat Statistik terakhir mencatat, rasio kepemilikan lahan di Indonesia pada 2013 mencapai 0,68. Ini berarti, sebanyak 1% populasi masyarakat di Indonesia menguasai 68% kekayaan tanah di Indonesia.
Kemiskinan masih besar
Tingkat kemiskinan juga tidak banyak berkurang dalam satu dekade terakhir. Pada Maret 2023, data terakhir yang dipublikasi, tingkat kemiskinan di Indonesia tercatat 9,36%.
Sebanyak 25,89 juta orang Indonesia masih masuk dalam kategori miskin, yaitu mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan yakni sebesar Rp569.299 per bulan untuk masyarakat kota dan Rp525.050 di perdesaan.
Angkanya tidak banyak berubah dari 2015, yang mencapai 28,51 juta orang di kala Garis Kemiskinan masih sebesar Rp356.378 di kota dan Rp333.034 di perdesaan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini cenderung stagnan, tidak bergerak dari 5%. Mengacu pada data BPS, hampir satu dekade terakhir kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata bahkan tak sampai 5% per tahun.
Sebagai catatan, PDB berdasarkan harga konstan pada 2023 tercatat sebesar Rp12.301,39 triliun. Sementara pada 2014, tahun pertama ketika Presiden Joko Widodo mulai menjabat di Istana, PDB Indonesia tercatat sebesar Rp8.564,86 triliun. Artinya, ada kenaikan sekitar 43,62% dalam hampir 10 tahun. Bila dirata-rata, per tahun pertumbuhan PDB hanya 4,84%.
PDB atas dasar harga konstan menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap kategori dari tahun ke tahun. Lima tahun masa kepemimpinan Jokowi, pada 2019 Indonesia mencatat nilai PDB sebesar Rp10.949,15 triliun. Artinya, selama periode 2014-2019, tercatat pertumbuhan nilai PDB selama periode kepemimpinan Jokowi 1 adalah 27%.
Sementara pada periode kedua sampai data 2023, ukuran ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi hanya tumbuh 12,35% di mana sebagian besar adalah karena hantaman krisis pandemi yang sempat menjatuhkan ekonomi RI dalam resesi.
Paparan Satgas Judi Online dan PPATK menyebut pelaku judi online berasal dari berbagai macam kalangan dan usia, mulai anggota DPR/DPRD, ASN, hingga pekerja biasa dan serabutan serta pengangguran. Mulai dari usia anak-anak sampai lansia.
Nilai transaksi judi terentang lebar mulai dari Rp10.000-Rp100.000 untuk pejudi dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Lalu, sebesar Rp100.000-Rp40 miliar untuk pejudi kelas ekonomi menengah ke atas.
Tanpa menyelesaikan akar yang memicu masalah, judi online akan terus ada menjelma jadi vampir yang menghisap perekonomian masyarakat dan memperburuk kualitas hidup orang Indonesia.
(rui/hps)