Dilihat dari tren bursa global, koreksi harga saham GOTO yang selama ini menjadi saham penggerak indeks juga bersamaan dengan penurunan LQ45 dan MSCI Indonesia.
LQ45 adalah kumpulan indeks berisi 45 saham unggulan dan paling likuid di BEI, sedangkan MSCI Indonesia berisi 22 saham berkapitalisasi besar dan menengah, mencakup 85% pasar saham Indonesia.
Sejak awal tahun hingga Senin ini (25/6) LQ45 terus terkoreksi di level 862, sempat tertinggi pada 14 Maret di 1.002, dan ambruk ke 839 pada 14 Juni lalu. Year to date (YTD), LQ45 turun 12,02%, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turun 6,02%.
Penurunan juga terjadi untuk MSCI yang dibentuk oleh Morgan Stanley Capital International ini. Data resmi MSCI per 31 Mei menunjukkan Indeks MSCI Indonesia minus hingga 13,85% dalam 3 bulan terakhir dan YTD ambles 12,58%. Penguatan hanya terjadi di Indeks MSCI Emerging Markets naik 3,41% dan MSCI ACI IMI naik 8,28%.
Beberapa anggota MSCI yakni Astra International (ASII), Bank Central Asia (BBCA), Bank Mandiri (BMRI), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), GOTO, dan Adaro Energy (ADRO).
Saham Bank Ambles
Di sisi lain, penurunan saham YTD juga dialami BBRI minus 23,49% di Rp 4.380/saham, Bank Negara Indonesia (BBNI) turun 17% di Rp 4.480, Bank Mandiri (BMRI) turun 2,07% di Rp 5.925, Telkom Indonesia (TLKM) drop 24% di Rp 2.990, dan Semen Indonesia (SMGR) turun 43% di Rp 3.660.
Analis Riset Semesta Indovest Sekuritas Nicholas Dharmawan menilai, tren global membuat IHSG sulit tembus level 7.000. Indeks LQ45 dan indeks unggulan lain pun terkoreksi. Beberapa faktor pemicu di antaranya BI yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 6,25%.
Menurut dia, kenaikan suku bunga dapat memicu investor beralih ke instrumen investasi lain seperti obligasi, dibandingkan saham. Rupiah juga semakin melemah, sementara imbal hasil SBN juga menguat.
"Tren suku bunga yang masih tinggi memang membuat instrumen yang lebih konservatif diminati sehingga saham termasuk sektor teknologi yang cenderung membutuhkan horison investasi lebih panjang sehingga mengalami rebalancing. Namun ketika mulai terlihat adanya tren pembalikan suku bunga, saham teknologi juga akan mendapatkan katalis positif," kata Nicholas.
Selain itu saham-saham perbankan juga loyo, ditambah dengan adanya capital outflow investor asing. Berdasarkan data pasar, asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) di seluruh pasar saham hingga mencapai Rp 19,58 triliun sejak Januari hingga 25 Juni lalu.
Sebelumnya dalam risetnya, Christopher Rusli, analis Mirae Asset Sekuritas, masih merekomendasikan saham GOTO dengan target harga Rp 80/saham. Alasannya, dia memperkirakan segmen ODS (on-demand services) dan financial technology (fintech) berpotensi menorehkan pertumbuhan kinerja yang lebih baik di 2024.
Dengan begitu, menurutnya, GoTo akan dapat lebih meningkatkan GTV (gross transaction value) ODS dengan memperluas basis penggunanya melalui pemasaran produk-produk terjangkau dan peningkatan berkelanjutan pada penawarannya.
“Perusahaan berencana untuk memperdalam pangsa pasarnya melalui peningkatan bauran produk dan langganan, serta meningkatkan layanan bernilai tambah, seperti bisnis periklanan, yang akan berkontribusi terhadap pertumbuhan secara keseluruhan.” tulis Christopher dalam publikasi risetnya.
(ibn/dba)