Pengamat politik sekaligus pendiri Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti membaca gelagat PDIP tersebut. Ray menilai sekalipun PDIP memegang presidential treshold 'ambang batas presiden' yang cukup untuk mengusung capres, namun partai itu tak mungkin bekerja sendiri untuk pemilu.
"Meskipun secara administrasi dia bisa jalan sendiri, tapi kan ya jadi bulan-bulanan saja kalau dia cuma sendirian," kata Ray kepada Bloomberg Technoz, Selasa malam (4/4/2023).
Namun yang menarik menurut dia adalah, silaturahim yang dilakukan Jokowi dan 5 ketum parpol ibarat menyampaikan pesan juga kepada PDIP usai batalnya perhelatan Piala Dunia U-20 pascaditolak para elite termasuk gubernur kader PDIP.
Menurut Ray, dimungkinkan apabila Jokowi sebenarnya ingin menunjukkan bahwa dirinya juga mampu menggalang kekuatan politik. Dia melanjutkan, fenomena yang terjadi kecenderungannya adalah bahwa PDIP tampaknya sekarang yang sedang mencari calon. Sementara sebelumnya partai itu tampak tak goyah meskipun "dirayu" banyak partai. Posisi ini menjadikan partai tersebut mulai mencair sikapnya. Belum lagi menurut Ray ada potensi turunnya elektabilitas usai pembatalan Piala Dunia U-20 di RI.
"Jokowi hanya 2 hari setelah penolakan Indonesia sebagai tuan rumah itu menunjukkan bahwa pak Jokowi sedang menggalang kekuatan untuk menyatakan kepada PDIP bahwa dia juga punya kekuatan. 'Kalau yang mau unjuk kekuatan sama saya, saya juga punya kekuatan nih' gitu," lanjutnya.
Sementara pengamat politik Ujang Komarudin tak menafikan mulai melembeknya sikap PDIP juga karena potensi elektabilitas turun usai gagalnya U-20.
"Jadi itu yang membuat PDIP harus berkawan dengan partai-partai lain. Kalau PDIP negatif terus, ingin sendirian terus ya ditinggalkan oleh partai-partai lain, termasuk di dalam koalisi besar itu," kata Ujang dari Universitas Al-Azhar Indonesia tersebut.
Menurut dia dalam hitungan politik segala sesuatu termasuk "kawin" dan "cerai" politik adalah hal yang sangat mungkin terjadi termasuk apabila PDIP nantinya bergabung dengan koalisi besar. Apabila kepentingan Jokowi dan Megawati kata dia sama maka hal itu bisa terjadi koalisi besar apalagi jika siapa calon presiden dan calon wakil presiden nantinya menemui kata sepakat.
Capres Cawapres
Menghitung kemungkinan PDIP bergabung dengan koalisi besar, ada sejumlah nama calon yang dianggap mungkin "dikawinkan". Ray menilai bongkar pasang capres-cawapres bisa terjadi antara Prabowo-Airlanga Hartarto, Prabowo-Erick Thohir dan memungkinkan pula Prabowo dengan calon PDIP apabila partai itu bergabung. Namun menurut dia calon dari PDIP belum tentu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
"Kalau sebelum-sebelumnya kan dia yang seolah-olah dicari. Sekarang dia yang seolah nyari orang. Kalau dia sedang mencari orang, artinya posisi tawarnya rendah. Kalau posisi tawarnya rendah ya bisa diabaikan orang. Bisa saja Ganjar enggak ikut," kata dia.
Sementara Ujang menilai beberapa opsi mungkin apabila terjadi koalisi besar termasuk PDIP di dalamnya. Namun menurut dia Prabowo untuk capres punya kans besar. Sementara untuk cawapresnya akan lebih dinamis.
"Cawapresnya tidak tahu, apakah Puan, Ganjar, Airlangga atau yang lainnya. Itu kan mesti dikompromikan, harus didiskusikan, harus dimusyawarahkan, harus deal satu sama lain," kata Ujang yang merupakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review.
Yang pasti kata dia, apabila capresnya akan cenderung ke Prabowo Subianto maka akan dicari cawapres yang benar-benar bisa mengoptimalkan elektabilitas Prabowo di pemilu.
"Apakah Prabowo-Puan, Prabowo-Khofifah, atau Prabowo-Mahfud, atau Prabowo-Airlangga. Kita tidak tahu, lihat saja nanti skema dari mereka karena ini kita masih menerka-nerka terkait dengan persoalan itu. Karena sejatinya capres-cawapresnya itu tergantung siapa yang memberikan positif terhadap Prabowo dan koalisi itu karena kan tujuannya ingin menang," tutupnya.
(ezr)