Isu kejahatan siber menjadi salah satu ancaman terbesar saat ini, bukan hanya menyasar lembaga-lembaga negara, akan tetapi dihadapi juga oleh industri di berbagai sektor.
Ingatan publik masih tajam ketika pada Mei tahun lalu, bank syariah terbesar di Indonesia, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), menjadi target peretasan yang membuat sistem mereka mati sampai sepekan. Setelah itu, perusahaan pembiayaan PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFI Finance) juga sempat terkena serangan siber.
Sementara di kalangan instansi pemerintah, Komisi Pemilihan Umum mengakui adanya upaya serangan dalam bentuk DDos (distributed denial of service) pada hari pencoblosan Pemilu 2024 Februari, yang telah diantisipasi melalui penerapan content delivery networks atau CDN.
Mengutip data Cyber Crime Statistic AAG-IT pada 2023, Indonesia adalah negara ketiga yang paling banyak mengalami peretasan data alias 'The Most Data Breach Account', setelah Rusia dan Prancis. Kasus peretasan data di Indonesia tahun lalu mencapai 13,2 juta pengguna internet.
Sementara Rusia dan Prancis masing-masing 22,3 juta dan 13,8 juta kasus tahun lalu. Kasus peretasan data di Indonesia mengalahkan Amerika Serikat dan Spanyol yang masing-masing mencatat 8,4 juta kasus dan 3,9 juta kasus tahun lalu.
Kejahatan siber memang menjadi salah satu ancaman terbesar saat ini. Pada 2024, kejahatan siber diperkirakan memicu kerugian sebesar US$9,2 triliun menurut Statista Market Insights yang dilansir dari Bloomberg. Angka kerugian itu diperkirakan akan membengkak hingga US$13,8 triliun pada 2028 nanti.
Kerugian yang timbul dari sisi keuangan berasal dari peretasan data (data breach), permintaan dana tebusan (ransomware), hingga disrupsi bisnis. Kejahatan siber terus melesat dan berulang muncul semakin canggih, menargetkan terutama perusahaan-perusahaan sektor keuangan, kesehatan, juga negara serta individu.
Bertubi-tubi serangan siber dialami oleh perusahaan keuangan di tanah air menegaskan lagi bahwa isu keamanan siber tidak bisa dianggap enteng. Perusahaan-perusahaan besar di dunia sejauh ini semakin serius menempatkan isu keamanan siber sebagai bagian dari investasi korporasi demi mempertahankan kelangsungan usaha. Belanja korporasi untuk anggaran keamanan siber pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Mengutip riset yang dilansir oleh DBS Bank pada Mei 2024, keamanan siber menjadi bidang investasi utama tahun ini. Hingga 2024, belanja industri untuk keamanan siber diperkirakan terus meningkat dengan CAGR (tingkat pertumbuhan per tahun) sebesar 10% hingga tahun 2028, sampai mencapai nilai pasar sebesar US$311 miliar.
"Kejahatan dunia maya menjadi ancaman yang makin besar di mana kerugian rata-rata akibat data breach telah mencapai angka tertinggi baru yaitu US$4,45 juta, naik 23% dibanding 2017 seiring kian canggihnya serangan siber," jelas DBS dalam riset yang dikutip, Selasa (25/6/2024).
Frekuensi serangan siber diperkirakan terus meningkat di masa mendatang menyusul peningkatan digitalisasi, adopsi SaaS (perangkat lunak sebagai layanan), mobilitas tenaga kerja dan kian banyaknya perangkat yang terhubung. Kesemua itu menciptakan perluasan medan serangan siber dan potensi kerentanan.
"Akibatnya, kerugian global akibat kejahatan dunia maya diprediksi meroket mencapai US$13,8 triliun pada 2028, atau tumbuh pada CAGR sebesar 11% dibanding CAGR tahun 2023," jelas riset yang sama.
Ancaman dari AI
Perkembangan Kecerdasan Buatan (AI), ketegangan geopolitik serta pemilu di banyak negara bisa mendoorng belanja keamanan siber lebih tinggi.
DBS mencatat, survei yang dilakukan oleh World Economic Forum beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa setengah dari responden survei menilai AI generatif meningkatkan kemampuan permusuhan para penjahat di dunia maya, mulai dari pengembangan malware, pemalsuan mendalam (deep fakes), juga phising.
Kebocoran data informasi identitas pribadi juga disorot sebagai salah satu kekhawatiran utama mengenai dampak AI generatif terhadap dunia maya.
Secara keseluruhan, Gartner memperkirakan, AI generatif akan mendorong peningkatan belanja aplikasi dan keamanan data hingga 15% pada 2025.
(rui/aji)