Selain itu, kata Irvan, pelemahan rupiah, tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) yang relatif tinggi, yang turut berimplikasi terhadap pada kenaikan yield instrumen pendapatan tetap jug amenjadi faktor lesunya IHSG.
"Rilis data-data ekonomi domestik yang mempengaruhi sentimen pasar, seperti defisit transaksi berjalan RI yang mengalami kenaikan dari USD1,1 miliar menjadi US$2,2 miliar pada kuartal I-2024, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur RI turun dari 52,9 menjadi 52,1 pada Mei 2024, dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) RI turun dari 127,7 menjadi sebesar 125,2 pada Mei 2024."
Faktor lainnya, lanjut Irvan, adalah peningkatan kepemilikan investor terhadap instrumen-instrumen lain seperti SBN, SBSN, dan SRBI, hingga penurunan peringkat saham Indonesia oleh Morgan Stanley, volatilitas harga saham-saham tertentu, dan lain sebagainya.
Berdasarkan data BEI, sejak 1 Mei hingga 19 Juni, 10 saham yang mencatatkan net sell asing tertinggi yakni BBRI, BMRI, BBCA, TOWR, TLKM, BBNI, ASII, SMRG, UNTR, dan GOTO.
Saham dengan net sell tertinggi dipegang BBRI yang mencapai Rp11,51 triliun, diikuti oleh BMRI yang sebesar Rp4,41 triliun. Diposisi terakhir dipegangn oleh GOTO yang tercatat sebesar Rp436,9 miliar.
(ibn/dhf)