"Selain itu jumlah sparepart pesawat di pasar global juga terbatas karena pabriknya belum bisa berproduksi penuh dan supply chain bahan bakunya juga terhambat karena adanya krisis geopolitik seperti perang Ukraina-Rusia, Israel-Hamas, Laut China Selatan, dll," kata Gatot.
"Jadi selain mahal, barangnya juga tidak ada. Contohnya untuk pesawat ATR 72 itu sampai sekarang sparepart-nya langka, jadi banyak pesawatnya yang tidak bisa diterbangkan. Misalnya punya Wings dan Citilink itu. Kalau mau menambah pesawat, kondisinya juga sama. Barangnya langka dan harganya mahal," jelasnya.
Isu Tarif
Di lain sisi, lanjut Gatot, persoalan tarif tiket maskapai penerbangan masih kerap kali jadi tantangan. Pemerintah meminta tarif turun, tetapi maskapai merasa tidak dapat memenuhi permintaan tersebut dan tetap menjual harga di level tarif batas atas (TBA).
"Kalau jumlah penerbangan sedikit, penumpang yang ada pasti akan naik pesawat yang tersedia. Cuma kendalanya adalah tarifnya tidak naik, bahkan pemerintah malah minta turun. Namun, sepertinya maskapai sudah tidak bisa menuruti pemerintah lagi, jadi tetap jual [tiket] di harga TBA."
Untuk medukung maskapai dalam industri penerbangan, Gatot menyarakan dua solusi bagi pemerintah. Pertama, meningkatkan pendapatan dengan menaikkan TBA sehingga pendapatan maskapai lebih tinggi dari biaya operasional.
Kedua, mengurangi biaya melalui upaya penguatan rupiah terhadap dolar AS, menyediakan bahan bakar dengan harga murah, mempermudah impor suku cadang, dan menghapus pajak-pajak tertentu sehingga biaya menjadi lebih rendah dari pendapatan dan maskapai bisa mendapatkan keuntungan.
"Kondisi saat ini sebenarnya juga peluang bagi moda transportasi lain untuk menambah frekuensi operasional sehingga bisa mengangkut penumpang yang selama ini naik pesawat. Harusnya pemerintah melihat peluang itu, dan bukan justru menekan maskapai terus," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) Irfan Setiaputra juga mengakui tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan ini membawa efek negatif terhadap industri penerbangan di dalam negeri.
Terlebih, menurutnya, Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan yang secara penerimaan pendapatan masih dalam bentuk rupiah, tetapi secara pengeluaran perusahaan mereka menggunakan dolar AS untruk transaksinya.
"Banyak kali lah [tantangan industri penerbangan], yang jelas exchange rate. Kita komponen dolarnya kan gede, ini kalau exchange rate ini kursnya melemah terus kan, kita kan apj-nya banyak rupiah," jelas Irfan selepas ditemui acara Forum Diskusi Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi), Kamis (20/6/2024).
(prc/wdh)