"Ini juga membuka peluang bagi investor yang ingin melakukan hedging dan profit management atas kondisi pasar yang bearish," tutur Irvan.
Hal itu juga akan menambah likuiditas karena investor juga dapat melakukan pembelian atau penjualan sesuai dengan valuasi masing-masing investor atas saham tersebut.
Terkait dengan risiko potensi gagal bayar akibat penerapan short selling tersebut, BEI juga akan memperkenalkan Intraday Short Selling untuk menjembatani dan mengurangi risiko itu.
Irvan menuturkan, intraday short selling secara umum merupakan salah satu bentuk short selling tapi untuk intraday short selling, investor yang melakukan short selling mempunyai kewajiban untuk melakukan pembelian (tutup posisi short) pada akhir hari perdagangan.
"Untuk diketahui bahwa short selling yang akan diterapkan tidak dibuka kepada seluruh investor. Hanya investor tertentu yang ditentukan oleh AB yang mendapatkan lisensi short selling yang dapat melakukan transaksi tersebut."
Picu Volatilitas Hingga Riba
Sebelum adanya kabar penerapan tersebut, penerapan shor selling dinilai akan menimbulkan kontroversi. Bagi para pelaku pasar, short selling justru hanya memicu volatilitas, alih-alih meningkatkan gairah transaksi seperti yang diharapkan otoritas bursa.
Mantan Direktur Utama BEI Hasan Zein Mahmud menilai, ada sejumlah implikasi jika short sell kembali diberlakukan. Salah satunya, karakteristik short sell yang sangat spekulatif. Short sell juga berpotensi memberikan tekanan jual tambahan ketika harga suatu saham dalam tren penurunan.
"Artificial supply. Sebut saja sebagai pasokan semu, menambah tekanan jual pada harga yang sedang jatuh," ujar Hasan, belum lama ini.
Selain itu, Hasan mengatakan bahwa penerapan short selling tidak sederhana. Dia harus ditopang oleh pasar lending and borrowing atau pinjam meminjam saham.
Tanpa segmen lending and borrowing short selling dipaksa menjadi spekulasi intraday. "Margin trading, short selling, lending and borrowing melibatkan unsur bunga di dalamnya. Jual beli plus riba."
Sementara itu, Chief Marketing Officer (CMO) Jarvis Asset Management Kartika Sutandi mengatakan, short sell kurang cocok diterapkan di pasar dalam negeri. Pasalnya Indonesia memiliki free float saham dalam jumlah kecil.
"Kalau mau short sell yang beneran free float mesti nggak ada majority, cukup seperti majority 20-25% saja," ujarnya.
"Misalnya GOTO, itu boleh, atau yang majority share holder tidak boleh ikutan jual beli (short). Seperti government banks jadi free float-nya adil nggak, ada yang besar gimana? Kalau nggak nanti bisa dikerjain."
Hanya saja, kata Kartika, pembentukan harga dalam short selling itu menjadi lebih nyata, terlebih jika merasa saham digoreng bisa di-short.
(wep)