Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengungkap beberapa strategi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, termasuk dengan membentuk lembaga khusus kliring sentral transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar yang disebut dengan Central Counterparty untuk Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar (CCP SBNT).

Destry menjelaskan, saat ini proses pembentukan CCP hanya tinggal menunggu persetujuan antar pemegang saham dan rencananya akan mulai implementasi pada semester II-2024. Lembaga itu diharapkan dapat menambah pasar uang karena akan terdapat berbagai instrumen moneter yang bisa diperdagangkan.

“Sekarang ini sudah tinggal persetujuan antar pemegang saham, dan kami rencanakan di 2024 di semester II mulai akan implementasi di dalam CCP itu dia bisa menambah pasar uang karena itu akan diperdagangkan disitu apakah itu repo DNDF, ataupun bentuknya hedging instrumen lainnya,” kata Destry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (24/6/2024).

Ia menyampaikan, CCP adalah salah satu pengembangan infrastruktur yang dilakukan BI untuk menjaga nilai tukar rupiah dalam jangka waktu menengah-panjang. Adapun, sebelumnya Komisi XI telah menyetujui penaruhan dana dari BI sebesar Rp40 miliar untuk pembentukan lembaga itu.

Selain langkah tersebut, Destry menyampaikan beberapa kebijakan yang ditempuh BI untuk menstabilkan nilai tukar. Pertama, pihaknya menggunakan BI Rate untuk stabilisasi nilai tukar dan inflasi.

Selanjutnya, BI juga melakukan intervensi pada pasar spot, DNDF. Maupun pada pasar Surat Berharga Negara (SBN), apabila terjadi aliran modal keluar yang deras di pasar SBN.

Namun, Destry mengakui bahwa langkah tersebut adalah kebijakan yang bersifat jangka pendek dan memiliki dampak yang sesaat. Sehingga, pihaknya juga mengembangkan berbagai kebijakan jangka menengah-panjang untuk memperkuat nilai tukar.

“Cara pertama bagaimana kami perlu memperdalam pasar uang, terobosan di 2024 ini diawal bagaimana kami memperkenalkan operasi moneter pro market. Dimana dengan operasi moneter pro market kami gunakan diler-diler utama bersama-sama BI masuk ke pasar untuk menambah likuiditas, entah itu untuk dolar AS maupun rupiah,” ujarnya.

Selanjutnya, BI juga melakukan operasi moneter melalui instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang merupakan penyempurnaan dari instrumen operasi moneter yang sebelumnya BI miliki.

“Yang sebelumnya kami menyerap likuiditas dari instrumen reverse repo, dimana bank-bank melakukan placement untuk menjaga stabilitas. Di SRBI kami sempurnakan bahwa instrumen itu tidak hanya dalam reverse repo, karena kalau reverse repo uang itu akhirnya mandet di BI dan tidak bisa diperdagangkan,” kata Destry.

Dengan begitu, instrumen SRBI nantinya dapat digunakan dalam pasar sekunder untuk menambah likuiditas, yang sebelumnya tidak dapat diperjual-belikan di pasar sekunder.

Selain itu, Destry juga menyampaikan bahwa BI terus mendorong penggunaan mata uang lokal untuk transaksi antar negara atau Local Currency Transaction (LCT). Kebijakan ini, telah dilaukan BI dengan beberapa bank sentral lainnya, seperti dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok.

Ia menyebut, hingga Mei 2024 pembayaran pada LCT telah mencapai US$3,8 miliar, atau naik 39% jika dibandingkan dengan Mei tahun lalu. Sementara dari jumlah pelaku, per Mei 2024 tercatat sebanyak 4386 pelaku LCT, yang pada tahun sebelumnya baru mencapai 2602 pelaku.

“Kami sudah dalam proses persetujuan MoU dengan Korea, Singapura, dan UEA. Kami  akan terus meningkatkan LCT kita dengan mempengaruhi karakteristik hubungan ekonomi kita dengan negara-negara mitra, plus kesiapan dari bank sentral negara masing-masing,” pungkasnya.

Sebagai tambahan, sebelum itu Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan sudah banyak masyarakat yang bertaruh bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan menyentuh besaran Rp17.000/US$. Sebab, salah satu indikator berupa nilai tukar rupiah di pasar spot telah menyentuh level Rp16.700/US$.

“Masyarakat melihat, orang sudah bicara ini kita akan ke Rp17.000 [per dolar AS], di pasar spotnya sudah Rp16.700 [per dolar AS]. Orang lalu menanyakan reli yang terjadi, kalau sudah seperti itu apa yang terjadi, faktor kepercayaan masyarakat,” kata Misbakhun dalam rapat kerja komisi XI bersama Bank Indonesia (BI), Senin (24/6/2024).

Ia menyebut, asumsi tersebut muncul setelah nilai tukar rupiah menyentuh level Rp16.000/US$. Padahal, sebelum itu, menurut dia, masyarakat tidak begitu mempermasalahkan apabila nilai tukar melemah.

(azr/lav)

No more pages