Logo Bloomberg Technoz

Bank Indonesia (BI) terindikasi melakukan intervensi di pasar valas dan forward di mana nilai intervensi secara jelas baru akan terlihat pada rilis data cadangan devisa Juni, bulan depan.

Sementara intervensi BI di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sedikit banyak terlihat dari posisi kepemilikan SBN oleh bank sentral yang kembali meningkat tajam bulan ini.

Berdasarkan publikasi Kementerian Keuangan RI, BI kini menguasai SBN sebesar Rp1.314,43 triliun (nett). Angka itu naik dari posisi akhir Mei sebesar Rp1.277,51 triliun. Artinya, selama bulan ini sampai tanggal 21 Juni, kepemilikan SBN oleh bank sentral bertambah Rp36,92 triliun.

Kepemilikan BI di SBN setara dengan 22,74% nilai outstanding surat berharga negara di pasar sekunder saat ini. Alhasil, BI kini kembali lagi menjadi penguasa SBN terbesar di pasar, mengalahkan perbankan (22,5%) juga industri keuangan nonbank (22,09%). Adapun kepemilikan asing di SBN semakin susut menjadi 13,83% per 21 Juni.

Klub Eksklusif

Keluarnya lagi BI sebagai penguasa terbesar SBN di pasar sekunder, mengantarkan bank sentral itu ke kelompok eksklusif otoritas moneter pemilik terbesar surat utang negaranya sendiri. Di dunia ini, selain BI, adalah Bank of Japan, yang juga menguasai lebih dari 50% obligasi pemerintah Jepang seiring dengan kebijakan moneter ekstrem mereka selama sekian lama.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengumumkan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Mei 2024 di Jakarta, Rabu (22/5/2024). (Dimas Ardian/Bloomberg)

Kepemilikan obligasi pemerintah yang besar oleh sebuah bank sentral, pada satu titik berisiko membatasi keleluasaan otoritas moneter itu dalam mengelola moneter serta menjaga independensi kebijakan ke depan.

Dalam jangka panjang, ekses likuiditas yang terlalu besar ditambah neraca yang negatif, juga dapat menghambat transmisi kebijakan moneter.

Baca juga: BI Harus Bayar Mahal Demi Stabilitas Rupiah

Ini yang mulai terlihat di tengah tekanan turbulensi pasar global setahun terakhir. Kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, pada akhirnya mendorong BI semakin agresif memakai instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai 'senjata utama' menarik modal asing masuk (capital inflows) melalui pemberian suku bunga jauh lebih tinggi, melampaui BI rate, melampaui tingkat bunga SBN pemerintah.

Dalam lelang SRBI terakhir Jumat lalu, SRBI tenor 12 bulan diberikan bunga 7,42%, jauh melampaui BI rate di 6,25%. Juga jauh di atas level yield SBN di pasar saat ini bahkan untuk tenor terpanjang sekalipun. SBN 30Y di pasar saat ini masih ada di kisaran 7,17%.

Bunga tinggi SRBI di tengah kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, bukan tanpa biaya. Beban operasional BI pada 2022 sudah melonjak mencapai Rp23 triliun dibandingkan Rp4,4 triliun pada 2020, efek skema burden sharing saat pandemi Covid-19.

Ditambah rilis SRBI dengan bunga yang tinggi diperkirakan akan membengkakkan biaya operasi moneter dan memicu defisit anggaran BI tahun ini hingga Rp29,3 triliun, berkebalikan dari capaian surplus tahun lalu sebesar Rp36,3 triliun.

Sebagai gambaran, per 14 Juni, BI telah menerbitkan SRBI sebanyak Rp666,53 triliun. Lalu, penerbitan Sertifikat Valas Bank Indonesia (SVBI) serta Sukuk Valas (SUVBI) masing-masing senilai US$2,03 miliar dan US$935 juta. Angka itu kemungkina akan terus melesat makin besar terutama bila tekanan terhadap rupiah masih berlanjut dan BI masih bersikukuh memakai intervensi langsung di pasar, juga menarik modal asing dengan iming-iming bunga tinggi SRBI.

Defisit neraca bank sentral bila bisa menurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter dan dalam skenario terburuk yaitu ketika rasio modal terhadap kewajiban moneter terus mengecil hingga di bawah 3%, negara harus turun tangan melalui suntikan modal tambahan ke bank sentral.

"Bank sentral yang sehat secara finansial, yang tidak perlu bergantung pada pendanaan pemerintah untuk operasionalnya, memungkinkan independensi yang lebih besar dalam kebijakan moneter. Namun, kemunculan surat berharga bank sentral baru seperti SRBI di tengah era kenaikan bunga acuan bisa menaikkan beban moneter yang pada akhirnya mempengaruhi fleksibilitas kebijakan BI dalam jangka panjang," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas, beberapa waktu lalu.

Baca juga: Maju Kena Mundur Kena: Kala BI Tersandera Segunung Surat Utang

Sementara di sisi lain BI tidak bisa serta merta menjual SBN untuk mengurangi beban operasi moneter. Menjual SBN akan semakin menjatuhkan rupiah. "BI seperti tersandera, maju kena mundur kena," kata Ekonom Centre of Economic and Law Studies Bhima Yudistira.

Apa yang terjadi pada Bank of Japan saat ini juga bisa jadi cerminan. Yen terus terpukul melemah ke level terburuk sepanjang masa terhadap dolar AS. BoJ tidak bisa serta merta melepas surat utang miliknya karena bisa membuat sentimen di pasar makin buruk. Sementara bank sentral Negeri Sakura itu juga terdesak melakukan pengetatan moneter sejurus dengan inflasi yang kian tinggi di sana.

Likuiditas Kian Ketat

Mengandalkan bunga tinggi SRBI demi menarik modal asing bukan tanpa akibat. Bunga tinggi SRBI akan memicu keketatan likuiditas pasar lebih jauh yang bisa merembet ke perbankan serta pengelolaan keuangan negara. Bunga SBN yang terus meningkat dapat memicu kenaikan cost of fund pembiayaan APBN.

Suku bunga pasar uang, IndONIA, pada 20 Juni sudah bergerak naik ke 6,131%, tertinggi sejak 21 Mei lalu. Beberapa perbankan terindikasi mulai mengerek bunga simpanan seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang menaikkan suku bunga deposito mereka 50 bps untuk simpanan di bawah Rp2 miliar.

Kembang api menyala di samping logo BCA saat malam pergantian tahun di Bundaran HI, Senin (1/1/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Sementara berdasarkan hasil asesmen BI terkait pergerakan suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan pada April yang dilansir 20 Juni, terpantau bunga pinjaman naik dalam dua kuartal terakhir. Adapun suku bunga kredit baru juga naik secara keseluruhan hingga 72 bps yaitu dari 9,33% menjadi 10,05%.

Langkah ini menuai kritik dari para ekonom. "BI tidak bisa hanya bergantung pada penerbitan SRBI untuk menjaga stabilitas rupiah karena terlalu banyak penerbitan SRBI akan memicu pengetatan likuiditas domestik yang berlebihan," kata ekonom BCA Keely Julia Hasim dan Barra Kukuh Mamia, seperti dilansir oleh Bloomberg.

Dalam penjelasan di gedung parlemen hari ini, Gubernur BI Perry Warjiyo bilang, BI menaikkan bunga SRBI untuk menarik dana asing masuk di tengah tekanan turbulensi pasar yang menjatuhkan rupiah. Perry bilang, bunga SRBI akan kembali diturunkan begitu tekanan pada rupiah mereda di mana naik turun bunga itu menjadi bagian dari kebijakan operasi moneter bank sentral.

(rui/aji)

No more pages