Tauhid mengatakan setidaknya terdapat tiga dampak yang terjadi bila subsidi dipatok pada level yang terlalu besar.
Pertama, tidak sehat bagi sisi bisnis. Menurut Tauhid, subsidi solar yang terlalu besar menciptakan persaingan yang tidak sehat di antara operator yang ada di Indonesia.
Selain itu, konsumen juga rawan beralih untuk beralih ke Solar bila terdapat selisih atau gap yang terlalu jauh antara BBM yang mendapatkan subsidi dan nonsubsidi
Kedua, beban negara untuk subsidi makin besar, sehingga anggaran untuk program prioritas lainnya tidak bisa dialokasikan secara maksimal.
Tauhid menggarisbawahi, pemerintah baru bakal menjabat pada 2025 dan membutuhkan dana yang besar untuk mendukung program baru.
“Pemerintahan baru itu butuh dana. Kalau semuanya lari ke subsidi, maka ya tidak ada cukup fiskal kuat ya untuk program pemerintahan baru,” terangnya.
Ketiga, peningkatan peluang untuk penyalahgunaan penyaluran Solar.
Tauhid tidak menampik bahwa kenaikan harga Solar bakal memiliki dampak terhadap inflasi. Namun, pemerintah bisa melakukan strategi untuk meminimalisir dampaknya, yakni kenaikan harga dilakukan secara bertahap.
Dengan demikian, menurut Tauhid, subsidi Solar sebaiknya tetap dipatok pada level Rp1.000/liter dengan penyaluran yang lebih tepat sasaran. Lagipula, dia memproyeksikan harga minyak mentah dunia bertengger pada level US$80 hingga US$85 per barel pada 2025. Artinya, harga Solar diproyeksikan tidak mengalami kenaikan yang signifikan.
“Ya sedangkan harganya sama. Sekarang kan berada juga pada level itu kan US$80/barel hingga US$85/barel juga. Masih sama dengan sekarang harganya,” ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya mengatakan kenaikan usulan subsidi Solar hingga Rp3.000/liter perlu dilakukan karena harga keekonomian minyak Solar mencapai Rp12.100/liter sedangkan harga jual eceran sebesar Rp6.800/liter.
Arifin menjelaskan subsidi tetap sebesar Rp1.000/liter hingga Mei 2024 menyebabkan besaran kompensasi yang dialokasikan sampai dengan Mei 2024 adalah Rp4.496/liter.
“Dalam RAPBN 2025, kami mengusulkan subsidi tetap untuk minyak Solar sebesar Rp1.000—Rp3.000/liter,” ujar Arifin dalam agenda rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (5/6/2024).
Di sisi lain, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan mengatakan perseroan tetap harus merogoh kocek sebesar Rp5.000/liter walaupun pemerintah memberikan subsidi Rp1.000/liter terhadap Solar.
“Terkait dengan JBT Solar, kami juga sedikit ingin sampaikan dan permohonan dukungan untuk melakukan peninjauan terhadap subsidi. Saat ini angka subsidi yang ada di formula besarannya Rp1.000/liter. Mohon untuk dapat dukungan untuk melakukan penghitungan ulang karena angka kompensasinya mencapai lebih kurang Rp5.000/liter,” ujarnya dalam agenda rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (28/5/2024).
(dov/wdh)