Bloomberg Technoz, Jakarta - Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) memang tengah menjadi kontroversial di kalangan para pekerja. Kini akhirnya UU Tapera digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilihat dari situs resmi MK, Sabtu (22/6/2024), gugatan tersebut didaftarkan pada Selasa (18/6/2024) malam. Warga bernama Leonardo Olefins Hamonangan sebagai pemohon I dan Ricky Donny Lamhot Marpaung sebagai pemohon II mengajukan gugatan terhadap UU Nomor 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumah Rakyat (Tapera). Mereka meminta kepesertaan Tapera bukanlah kewajiban.
Alasan-alasan permohonan tersebut terdiri dari 26 poin, di antaranya akan mengalami risiko terjadinya pengurangan gaji akibat adanya iuran Tapera yang bisa menambah beban finansial yang akan dirasakan oleh pekerja. Belum lagi potongan BPJS sebesar 5% dari gaji.
Pada pasal 7 ayat (2) UU 4/2016 isi dari pasal tersebut, "Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta. Maka, bila dihadapkan kondisi tersebut dengan upah di bawah minimum yang merupakan upah yang tidak seberapa dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari harus dihadapkan pengurangan gaji akibat adanya potongan 3% simpanan Tapera.
Lalu, pasal 7 ayat (3) berbunyi: Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar
Pasal 72 ayat (1) berisi: Peserta, Pemberi Kerja, BP Tapera, Bank/Perusahaan Pembiayaan, Bank Kustodian, dan Manajer Investasi yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 19, Pasal 30, Pasal 64, Pasal 66, Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 dikenai sanksi administratif berupa:
e. pembekuan izin usaha; dan/atau
f. pencabutan izin usaha.
Pemohon juga mempermasalahkan keberadaan 'atau' dalam pasal 7 ayat (3) UU Tapera. Menurutnya, hal itu membuat ketidakpastian hukum soal siapa yang harus menjadi peserta Tapera.
Penggugat juga menilai Program Tapera belum menjadi kebutuhan penting. Urgensinya tak bisa disamakan dengan BPJS yang diperlukan masyarakat terutama yang terbebani dengan biasa berobat dan sakit yang bisa datang sewaktu-waktu.
Program Tapera juga dinilai mereka akan berakibat pada dampak berkurangnya minat masyarakat menjadi pelaku usaha.
Pengenaan sanksi tertuang dalam pasal 72 ayat 1 huruf e dan f mengenai pembekuan dan pencabutan izin usaha. Hal itu mereka sebut sangat memberatkan bagi pemohon II selaku pelaku UMKM.
(dec/ros)