Logo Bloomberg Technoz

Dalam pernyataannya pada konferensi pers kemarin, Perry bilang, BI rate di 6,25% masih memadai di mana investor asing sejauh ini masih melakukan pembelian instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp39,96 triliun pada 22 Mei-19 Juni lalu sehingga total kepemilikan asing di instrumen jangka pendek berbunga tinggi itu kini mencapai Rp179,86 triliun.

Perry juga menyatakan keyakinannya bahwa rupiah akan menguat di masa mendatang di bawah Rp16.000/US$ didukung oleh fundamental ekonomi RI yaitu inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi relatif baik, pertumbuhan kredit bank yang double digit serta imbal hasil investasi yang menarik di atas 7%.

Bisa Menguat

Dalam pandangan Bahana Sekuritas, peluang penguatan rupiah terbuka bila melihat penyebab kejatuhan rupiah belakangan ini. Tekanan yang dialami rupiah saat ini salah satunya adalah karena permintaan dolar AS yang memuncak di mana kuartal dua memang secara historis menjadi masa padat demand valas.

Baru-baru ini ada kontrak forward (DNDF) yang jatuh tempo senilai US$600 juta yang tidak bisa diperpanjang. Itu menggiring para pelaku pasar menyerbu pasar spot untuk mencari dolar AS di tengah perburuan dolar juga oleh korporasi yang terdesak kebutuhan membayar dividen, lalu belanja rutin valas Pertamina untuk impor migas.

Pada saat yang sama, para hedge fund dan bank asing yang membangun posisi jual (short) USD/IDR terpaksa melakukan shortcover posisi mereka.

"Posisi itu dibangun pada akhir Mei ketika indeks dolar AS turun 1% dalam sepekan dengan imbal hasil Treasury yang sedikit lebih rendah. Berkebalikan dengan ekspektasi para trader, rupiah tidak menguat dibanding valuta emerging market lain bahkan melemah dari Rp16.090/US$ menjadi Rp16.400/US$ karena tingginya permintaan valuta asing di dalam negeri," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas. 

Faktor-faktor itu sifatnya jangka pendek sehingga begitu hal itu berakhir, rupiah berpeluang menguat seiring permintaan valas yang menurun. Hanya saja, bila dolar AS terus menguat akibat situasi di pasar global, BI sebaiknya tetap waspada karena hal yang terjadi pada Oktober lalu bisa kembali terulang. 

Untuk sementara mengimbangi tekanan global, langkah BI mengoptimalkan SRBI dengan mengimingi level bunga tinggi masih menjadi pilihan paling masuk akal, selain mengintervensi pasar spot, DNDF juga pasar surat utang negara.

BI mencatat, per 14 Juni, mereka telah menerbitkan SRBI senilai Rp666,5 triliun, lalu SVBI dan SUVBI sebesar US$2,03 miliar dan US$935 juta. Asing menguasai 27% total outstanding SRBI.

"Instrumen ini memang memicu efek crowding out likuiditas di pasar karena menggeser kurva imbal hasil dan menaikkan yield di pasar sekunder. Namun, sepertinya saat ini instrumen-instrumen inilah yang menjadi pilihan paling mungkin sekarang," kata Satria.

(red)

No more pages