Rupiah di era kekuasaan Presiden Jokowi memang cukup merana. Ketika mengawali kepemimpinan pada Oktober 2014 lalu, nilai rupiah masih ada di kisaran Rp12.033/US$.
Pada periode pertama Jokowi, rupiah melemah dan sempat menyentuh level Rp14.698/US$ pada 28 September 2015. Ketika periode pertama Jokowi berakhir pada 2019, rupiah ditutup di Rp14.146/US$. Alhasil, selama periode pertama Jokowi, rupiah melemah 17,56% point-to-point.
Pada periode kedua rezim Jokowi, rupiah semakin parah pelemahannya. Sebagian adalah karena pecah krisis akibat pandemi Covid-19 yang sempat melempar rupiah ke level terlemah sejak era reformasi pada 23 Maret 2020 di Rp16.575/US$.
Pandemi sudah berakhir, akan tetapi dampak perubahan lanskap ekonomi global yang dibekap inflasi tinggi diikuti oleh kenaikan bunga di seluruh dunia yang juga tertinggi dalam empat dekade terakhir, sulit memberi peluang pada rupiah untuk balik menguat seperti di awal Jokowi berkuasa.
Rupiah menyentuh level terlemah baru hari ini di Rp16.475/US$, walau setelah itu berhasil bangkit di Rp16.450/US$, masih yang terlemah dalam lebih empat tahun terakhir.
Alhasil, pada ulang tahun terakhir Jokowi tahun ini sebagai presiden, rupiah sudah melemah sedikitnya 36,7% point-to-point.
Isu Kesinambungan Fiskal
Nilai tukar rupiah semakin terpuruk belakangan ini karena kekhawatiran pelaku pasar terkait masa depan kebijakan fiskal Indonesia di bawah pemerintahan baru Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Keputusan Bank Indonesia mempertahankan BI rate di level 6,25% kemarin, meski sesuai ekspektasi pasar, mendapatkan respon yang kurang baik dari pelaku pasar hari ini. Rupiah offshore bahkan sempat menyentuh Rp16.507/US$ di pasar New York tadi malam.
"Investor asing menilai BI menganggap enteng risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang bisa melemahkan rupiah," kata Lionel Prayadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas dalam catatannya hari ini.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui, persepsi terhadap kesinambungan fiskal menjadi salah satu faktor yang menekan rupiah belakangan. Karena baru sebatas persepsi yang belum tentu benar, menurut Perry, itu menjadi faktor penekan sementara saja bagi rupiah.
Perry bilang, nilai wajar rupiah saat ini adalah di bawah Rp16.000/US$, bila melihat faktor fundamental.
"Inflasi kita rendah, pertumbuhan ekonomi juga relatif baik di 5,1%, transaksi berjalan juga defisitnya masih rendah ditambah imbal hasil investasi yang juga menarik. Faktor fundamental ini yang akan mempengaruhi tren dan kami yakini tren ke depan rupiah akan menguat dan dalam jangka pendek pergerakannya stabil," kata Perry.
Persoalannya, pasar masih menuntut kejelasan lebih terang terkait arah kebijakan fiskal pemerintahan Prabowo kelak. Bantahan yang dinyatakan oleh tim ekonomi Satuan Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Thomas Djiwandono, belum cukup menenangkan pasar. Begitu juga pernyataan bantahan oleh Sufmi Dasco, Ketua Satgas, belum memuaskan pasar.
"BI menyebut pelemahan rupiah adalah karena peningkatan permintaan dolar AS korporasi dan persepsi prospek fiskal, yang menyiratkan itu faktor di luar kendali BI. Permintaan dolar AS mungkin akan mereda, namun persepsi terkait prospek fiskal mungkin akan bertahan sampai ada kejelasan kebijakan," kata Wee Khoon Chong, Senior Asia Pacific Market Strategist di BNY Mellon di Hong Kong.
Pejabat BI hari ini menyatakan, komunikasi lebih intensif perlu dilakukan oleh tim ekonomi Prabowo agar pasar tidak terjebak dalam kegalauan yang berlarut-larut dan melemahkan rupiah.
Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto menyatakan, tim ekonomi Prabowo Subianto perlu lebih intensif mengkomunikasikan lagi dengan pasar.
"Dalam kondisi seperti tersebut, memang diperlukan komunikasi yang lebih intensif lagi dari tim Pak Prabowo [Subianto] utamanya kepada pelaku pasar khususnya investor asing,” ujar Edi kepada Bloomberg Technoz, Jumat (21/6/2024).
Meskipun begitu, Edi menilai bahwa telah terdapat penjelasan yang dibuat oleh tim sinkronisasi Prabowo untuk membantah prasangka pelaku pasar tersebut. “Sepertinya tim Pak Prabowo tetap akan menjaga fiskal yang sehat ke depan,” kata Edi.
Jokowi Panggil BI dan Kemenkeu
Pada Kamis kemarin, Jokowi telah memanggil para pejabat kunci sektor ekonomi yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Lalu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Purbaya Yudhi Sadewa, serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Menteri Keuangan menyatakan, pelemahan rupiah terkait situasi global dan domestik.
"Pemerintah terus memantau dan mewaspadai dinamika di atas, khususnya menjaga agar perekonomian tetap tumbuh dengan berkualitas dan stabilitas serta sustainabilitas tetap terjaga baik melalui koordinasi yang makin erat dan baik antara kebijakan ekonomi, fiskal, moneter dan stabilitas sektor keuangan," jelas Sri Mulyani dalam akun Instagram pribadinya, Kamis (20/6/2024).
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pelemahan rupiah yang disebut berkaitan dengan isu kesinambungan fiskal, tidak perlu dikhawatirkan. Alasannya, defisit anggaran Indonesia saat ini masih di bawah 3%.
“Alarmnya bunyinya di Eropa, bukan di Indonesia, Indonesia [defisit APBN] masih dibawah 3%. Jadi tenang-tenang saja ,” kata Airlangga saat ditemui di kantornya, Jumat (21/6/2024).
Airlangga menuturkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang kebijakan fiskal Indonesia ke depan. Batas defisit anggaran Indonesia pada tahun depan akan tetap di bawah batas 3%, sesuai dengan pembahasan APBN 2025 di DPR.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui/aji)