Permintaan imbal hasil lelang SRBI meningkat di semua tenor di mana untuk SRBI-12 bulan, investor meminta imbalan hingga 7,60%, tertinggi sejak lelang 8 Mei yang sempat menyentuh 8% untuk tenor yang sama. Bank sentral akhirnya menyerap permintaan dalam lelang hari ini sebesar Rp31,9 triliun, lebih besar dibanding serapan lelang sebelumnya.
Tingkat bunga juga dimenangkan lebih tinggi yakni hingga 7,41% untuk tenor 12 bulan, lalu 7,30% untuk 9 bulan dan 7,22% untuk tenor 6 bulan.
Mengandalkan imbalan tinggi SRBI demi menarik modal asing bukan tanpa konsekuensi. Bunga tinggi instrumen akan memicu keketatan likuiditas pasar lebih jauh yang bisa merembet ke perbankan dan pengelolaan keuangan negara. Bunga SBN yang terus meningkat bisa memicu kenaikan cost of fund pembiayaan APBN.
Suku bunga pasar uang, IndONIA, pada 20 Juni sudah bergerak naik ke 6,131%, tertinggi sejak 21 Mei lalu. Beberapa perbankan terindikasi mulai mengerek bunga simpanan seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang menaikkan suku bunga deposito mereka 50 bps untuk simpanan di bawah Rp2 miliar.
Sementara berdasarkan hasil asesmen BI terkait pergerakan suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan pada April yang dilansir kemarin, terpantau bunga pinjaman melanjutkan kenaikan dalam dua kuartal terakhir. Sedangkan suku bunga kredit baru juga naik secara keseluruhan hingga 72 bps yaitu dari 9,33% menjadi 10,05%.
Analis memperingatkan, bila dolar AS terus menanjak naik dalam beberapa hari ke depan, BI sebaiknya berhati-hati menyusul reaksi pelaku pasar valas dan obligasi yang bisa melanjutkan tekanan pada rupiah. "Para spekulan itu tahu bahwa intervensi di pasar valas dan SBN memiliki batasan," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas, dilansir dari Bloomberg.
Satria bilang, intervensi langsung ke pasar secara harian sulit menjadi langkah berkelanjutan dan pada akhirnya kenaikan bunga acuan ujung-ujungnya harus dilakukan.
Menilik kecukupan devisa, posisi cadangan devisa pada Mei sebesar US$139 miliar mungkin belum menyalakan kewaspadaan sebagaimana April dan Oktober lalu ketika nilai cadangan devisa sudah longsor lebih dari US$10 miliar hanya dalam hitungan bulan.
Namun, nilai cadangan devisa terakhir itu juga tidak dalam kategori melimpah meski masih di atas standar kecukupan internasional 3 bulan. Bila menghitung posisi akhir tahun lalu, nilai cadangan devisa RI sudah melorot US$7,38 miliar.
"Keputusan BI rate kemarin tidak cukup hawkish dalam menyoroti pelemahan rupiah saat ini. Kecuali indeks dolar AS bergerak melemah, sepertinya rupiah akan terus melemah menuju kisaran Rp16.575/US$ [terlemah pada pandemi Covid-19]," kata Wee Khoon Chong, Senior Asia Pacific Market Strategist di BNY Mellon di Hong Kong.
"BI menyebut pelemahan rupiah adalah karena peningkatan permintaan dolar AS korporasi dan persepsi prospek fiskal, yang menyiratkan itu faktor di luar kendali BI. Permintaan dolar AS mungkin akan mereda, namun persepsi terkait prospek fiskal mungkin akan bertahan sampai ada kejelasan kebijakan," imbuh Chong.
Intervensi BI
Bank Indonesia terlihat masuk ke pasar sejak pembukaan pagi tadi menopang kejatuhan rupiah yang sempat menyentuh Rp16.475/US$. Siang ini rupiah masih tertekan di kisaran Rp16.455/US$, terendah sejak awal April 2020 dan membuat mata uang Indonesia ini sebagai valuta terburuk di Asia selama Juni ini.
Direktur Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto menyatakan, BI terus mengawal dengan tetap ada di pasar melalui triple intervention untuk menjaga market confidence," kata Edi pada Bloomberg Technoz pagi ini.
Triple intervention di antaranya adalah intervensi di pasar spot, lalu di pasar DNDF serta di pasar SBN. "Termasuk pembelian SBN agar investor asing di pasar SBN tidak jitter," jelasnya.
Menurut Edi, tekanan rupiah belakangan ini lebih karena situasi pasar global yang kurang kondusif. Mulai dari divergensi kebijakan moneter di negara-negara maju yang kian tajam dengan penurunan bunga bank sentral Swiss (SNB), lalu ditahannya bunga acuan Bank of England serta Fed fund rate yang sepertinya baru akan turun satu kali saja tahun ini.
"Ditambah juga kondisi perpolitikan di Prancis yang masih tidak pasti serta pasar saham di AS yang melemah," kata Edi.
Terkait kekhawatiran fiskal pemerintahan mendatang yang digarisbawahi oleh para pelaku pasar dan membuat rupiah jatuh belakangan ini, Edi menyatakan tim ekonomi Prabowo Subianto perlu lebih intensif mengkomunikasikan lagi dengan pasar.
"Dalam kondisi seperti tersebut, memang diperlukan komunikasi yang lebih intensif lagi dari Timnya pak Prabowo utamanya kepada pelaku pasar khususnya investor asing,” ujar Edi kepada Bloomberg Technoz, Jumat (21/6/2024).
Meskipun begitu, Edi menilai bahwa telah terdapat penjelasan yang dibuat oleh tim sinkronisasi Prabowo untuk membantah prasangka pelaku pasar tersebut. “Sepertinya Timnya pak Prabowo tetap akan menjaga fiskal yang sehat ke depan,” kata Edi.
Kenaikan BI Rate
Para analis mempertanyakan selisih yang kian melebar antara BI rate dengan tingkat bunga SRBI. Kenaikan bunga SRBI yang ditujukan untuk menarik dana asing ketika di satu sisi BI rate dibiarkan di 6,25%, menuai pertanyaan.
SRBI yang berhasil menarik dana asing masuk cukup besar menunjukkan bahwa imbal hasil yang ditawarkan menarik meski ada risiko berinvestasi di Indonesia, menurut ekonom PT Bank Central Asia Tbk Keely Julia Hasim dan Barra Kukuh Mamia, seperti dilansir oleh Bloomberg.
Menurut mereka, itu memantik pertanyaan, apakah BI harus menyesuaikan BI rate agar lebih sesuai dengan imbal hasil SRBI? Mengingat kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, BI kemungkinan enggan menaikkan bunga.
"BI tidak bisa hanya bergantung pada penerbitan SRBI untuk menjaga stabilitas rupiah karena terlalu banyak penerbitan SRBI akan memicu pengetatan likuiditas domestik yang berlebihan," kata ekonom BCA.
BI rate dinilai masih bisa naik lagi tahun ini ke 6,5% karena risiko pelemahan rupiah lebih lanjut ke Rp16.500-Rp16.600/US$ akan menjadi hal yang sangat ditakutkan terutama bila terjadi secara cepat.
"Kami percaya kenaikan suku bunga sebesar 25bps masih mungkin terjadi. Kami memperkirakan imbal hasil obligasi AS akan bergerak lebih tinggi akibat pasokan obligasi yang makin besar, seiring dengan pelemahan ekonomi AS berbarengan dengan peningkatan pinjaman pemerintah AS pada kuartal III nanti, khususnya saat Pemilu AS dilakukan pada November," kata Satria.
-- dengan bantuan Mis Fransiska dan Azura Yumna.
(rui/aji)