Bloomberg Technoz, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan perusahaan tekstil asal China berminat menanamkan modal di Indonesia. Untuk itu, pemerintah disebut sudah menyiapkan lahan di daerah Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.
Menurut Luhut, investor tersebut bakal melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking bila permasalahan tanah selesai.
Luhut berkomunikasi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono untuk mengeluarkan status tanah kepada industri asal China tersebut.
"(Agus mengatakan) bisa diselesaikan dalam sepekan, ya bulan depan kita akan lihat mulai konstruksi," ujar Luhut dalam agenda MINDialogue, Kamis (20/6/2024).
Dominasi Asing
Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) memang masih mendominasi investasi di Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi yang masuk sepanjang semester I-2024 adalah Rp 401,5 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 204,4 triliun (50,9%) adalah PMA.
Sepanjang tahun lalu, realisasi investasi tercatat Rp 1.418,9 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 744 triliun (52,4%) adalah PMA.
PMA memang berdampak positif seperti menciptakan lapangan kerja, mendorong sektor konstruksi, menambah penerimaan negara, mendongkrak ekspor, dan sebagainya. Namun ada sisi gelap PMA yang harus diwaspadai.
Bagaimanapun juga, PMA adalah modal yang ditanamkan investor asing. Akan datang saatnya di mana modal itu akan kembali ke negara asalnya, tidak semuanya dinikmati oleh Indonesia.
Hal ini terekam di transaksi berjalan (current account) di pos pendapatan primer. Sepanjang 2023, neraca pendapatan investasi langsung mengalami defisit US$ 21,81 miliar. Tahun sebelumnya, neraca ini defisit US$ 21,99 miliar.
Pada kuartal I-2024, neraca pendapatan investasi langsung defisit US$ 5,47 miliar.
Beban Transaksi Berjalan
Defisit di neraca pendapatan investasi langsung menjadi beban bagi transaksi berjalan secara keseluruhan, karena hampir selalu defisit. Saat transaksi berjalan secara keseluruhan defisit, maka fundamental mata uang menjadi lemah.
Transaksi berjalan mencerminkan arus valas yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa. Aliran valas dari pos ini bersifat tahan lama, berkelanjutan, tidak mudah datang dan pergi seperti investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money.
Jadi tidak heran transaksi berjalan dipandang sebagai fundamental kekuatan nilai tukar mata uang suatu negara. Defisit transaksi berjalan akan membuat mata uang mudah untuk ‘digoyang’ karena fundamentalnya lemah.
Pada kuartal I-2024, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit US$ 2,16 miliar atau 0,64% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan akan defisit di kisaran 0,1-0,9% PDB.
Defisit transaksi berjalan menjadi salah satu faktor pemberat langkah rupiah. Sepanjang tahun ini, rupiah melemah hampir 6% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Oleh karena itu, sebisa mungkin beban di transaksi berjalan harus dikurangi. Salah satunya adalah mengurangi ketergantungan terhadap investor asing, termasuk PMA, untuk menekan arus devisa keluar negeri.
Indonesia mesti belajar dari kasus Pakistan. Dalam kajian berjudul The Causal Relationship between Foreign Direct Investment and Current Account: An Empirical Investigation for Pakistan Economy karya Danish Ahmed Siddiqui, Mohsin Hasnain Ahmad, dan Muhammad Asim dari University of Karachi. terbukti bahwa investasi asing malah membawa efek buruk.
“Dampak signifikan dari FDI adalah pelemahan Neraca Pembayaran dalam jangka panjang (karena pengalihan laba ke luar negeri) dan ini harus menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan saat ingin menarik investasi asing. Dalam kasus Pakistan, investasi-investasi asing tersebut tidak mampu berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas ekonomi kecuali peningkatan impor dan pengalihan devisa yang tinggi, Dengan demikian, aktivitas ekonomi yang ditimbulkan oleh investasi-investasi asing itu tidak berkelanjutan dan malah menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi, inflasi tinggi, dan menekan nilai tukar mata uang,” ungkap riset itu.
(aji)