Logo Bloomberg Technoz

"Inflasi kita rendah, pertumbuhan ekonomi juga relatif baik di 5,1%, transaksi berjalan juga defisitnya masih rendah ditambah imbal hasil investasi yang juga menarik. Faktor fundamental ini yang akan mempengaruhi tren dan kami yakini tren ke depan rupiah akan menguat dan dalam jangka pendek pergerakannya stabil," kata Perry.

Namun, karena masih ada sentimen ketidakpastian pasar yang rentan mengguncang rupiah, peluang penurunan BI rate bisa dibilang minim tahun ini. Ditambah isu baru yakni kekhawatiran pelaku pasar terkait kesinambungan fiskal Indonesia di bawah pemerintahan baru nanti, posisi rupiah makin rapuh.

Rupiah masih rapuh (Bloomberg)

Perry menjelaskan, sentimen jangka pendek yang menggoyang rupiah, seperti yang terjadi pada April lalu yaitu ketidakpastian arah bunga FFR dan ketegangan geopolitik, menjadi alasan BI rate dinaikkan. "Kalau tidak ada faktor geopolitik dan tidak ada ketidakpastian FFR, BI tidak perlu menaikkan BI rate tempo hari [April]," jelasnya.

Ketika itu, nilai cadangan devisa RI juga sudah terkuras hingga lebih dari US$10 miliar dalam empat bulan saja. Keputusan itu disebut Perry berhasil mengembalikan rupiah ke fundamentalnya yaitu Rp15.900-an/US$.

Kini dengan rupiah berada di level Rp16.430/US$ pada penutupan pasar spot, BI memilih bertahan memakai jurus intervensi dan mengerek bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai strategi menarik dana asing jangka pendek masuk ke pasar.

"Ke depan apakah BI rate bisa turun? Ya, masih ada [peluang]. Kalau tidak ada masalah [ketidakpastian] global, ketegangan geopolitik, tidak ada persepsi kesinambungan kebijakan fiskal, ya, terbuka ruang penurunan BI rate," kata Perry.

Mengacu pada data penutupan pasar hari ini di Rp16.430/US$, rupiah telah mencatat pelemahan 6,7% dibanding posisi penutupan akhir tahun lalu. Lebih buruk dibandingkan ringgit Malaysia yang melemah 2,54%, rupee India 0,51%, peso Filipina 5,94%, juga dolar Taiwan dan dong Vietnam masing-masing 4,93% dan 4,65%.

Risiko valas bank

BI hari ini juga mengumumkan kebijakan baru yakni pembatasan permintaan utang bank dalam valuta asing, khususnya dalam dolar AS. Ini untuk mengurangi risiko nilai tukar yang dihadapi oleh perbankan.

Kebijakan itu akan efektif diberlakukan mulai 1 Agustus nanti di mana BI menetapkan batas maksimal sebesar 30% untuk pinjaman valas yang bisa diberikan oleh perbankan dalam negeri. Batas maksimal itu akan dinilai setiap enam bulan sekali.

Pangsa pinjaman bank dalam mata uang asing pada April mencapai 28,76%. "Hal itu menciptakan kesenjangan mata uang asing yaitu simpanan dalam valas dibandingkan pinjaman valas sebesar -Rp792,9 triliun. Dengan menerapkan kebijakan tersebut BI mencoba membatasi kesenjangan valas di sistem perbankan senilai -Rp880 triliun," jelas Lionel Prayadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas.

Rekor kesenjangan valas tertinggi terjadi pada 21 Desember lalu dengan nilai mencapai Rp1.202,68 triliun ketika pinjaman bank dalam mata uang asing mencapai 37,96%.

Cadangan Devisa

Keyakinan BI menahan bunga acuan di tengah tekanan yang dihadapi oleh rupiah juga didukung oleh optimisme akan berakhirnya tekanan permintaan valas di pasar domestik pada kuartal dua ini.

Setiap kuartal dua, permintaan dolar AS memang tinggi karena kebutuhan pembayaran dividen korporasi juga pembayaran utang luar negeri pemerintah. 

Cadangan devisa RI kembali naik setelah empat bulan berturut-turut longsor (Bloomberg)

Posisi cadangan devisa RI per akhir Mei masih sebesar US$139 miliar, bertambah US$2,8 miliar dalam sebulan. Nilai itu masih setara kebutuhan impor dan pembayaran utang pemerintah selama 6 bulan.

BI juga gamblang menyatakan tidak ragu untuk semakin mengandalkan instrumen moneter jangka pendek seperti Sertifikat Rupiah BI (SRBI) dengan menawarkan imbalan tinggi demi menarik modal asing masuk yang bisa memperkuat suplai dolar AS di pasar.

Hingga 14 Juni 2024, posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp666,53 triliun, US$2,3 miliar dan US$395 juta.

"Penerbitan SRBI telah menarik aliran masuk asing ke dalam negeri, tecermin dari kepemilikan nonresiden yang mencapai Rp179,86 triliun (26,98% dari total outstanding). Ke depan, BI akan terus mengoptimalkan berbagai inovasi instrumen pro-market baik dari sisi volume maupun daya tarik imbal hasil, dan didukung kondisi fundamental ekonomi domestik yang kuat, untuk mendorong berlanjutnya aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan domestik," jelas Perry.

Suku bunga SRBI tenor 6, 9, dan 12 bulan pada tanggal 14 Juni 2024 tercatat cukup tinggi, melampaui bunga SBN terbitan pemerintah, masing-masing pada level 7,16%, 7,28%, dan 7,35%.

"BI kelihatan akan menghindari kenaikan bunga lagi tahun ini selama pelemahan nilai tukar rupiah masih sejalan dengan mata uang peers dan kecepatan pelemahannya tidak terlalu cepat," komentar Tamara Henderson, ekonom Bloomberg Economics usai konferensi pers Bank Indonesia.

-- update penjelasan kebijakan baru Bank Indonesia.

(rui/aji)

No more pages