Per 14 Juni, lanjut Perry, posisi instrumen SRBI tercatat Rp666,53 triliun. Kemudian SVBI dan SUVBI masing-masing US$2,03 miliar dan US$935 juta.
Dalam pernyataannya di konferensi pers siang ini, nada yang keluar dari penjelasan Perry terkesan hawkish. Perry menyebut, penguatan dolar AS buntut dari tingginya yield US Treasury di tengah divergensi kebijakan moneter negara maju dan masih tingginya ketegangan politik membuat ketidakpastian keuangan global tetap tinggi.
"Dolar akhirnya menguat sehingga tekanan nilai tukar terjadi di mata uang dunia serta menahan aliran modal asing di negara berkembang. Itu memerlukan respon kebijakan yang kuat untuk memitigasi rambatan ketidakpastian pasar keuangan global tersebut terhadap perekonomian di negara berkembang termasuk Indonesia," kata Perry.
(rui)