Rupiah juga tertekan oleh permintaan dolar AS di pasar domestik oleh korporasi termasuk untuk pembayaran dividen serta persepsi terhadap kesinambungan fiskal Indonesia ke depan.
Perry menyebut, pelemahan rupiah masih lebih kecil dibanding beberapa mata uang Asia lain. Sepanjang tahun ini (year-to-date), rupiah telah melemah 5,92%.
"Itu lebih rendah dibandingkan won Korea, baht Thailand, peso Meksiko, real Brazil juga yen Jepang yang masing-masing melemah 6,78%, 6,92%, 7,89% lalu 10,63% dan 10,78%," kata Perry.
BI masih akan mengandalkan jurus optimalisasi seluruh instrumen moneter termasuk peningkatan intervesi di pasar valas. Lalu, operasi moneter melalui instrumen SRBI, SVBI dan SUVBI.
Per 14 Juni, lanjut Perry, posisi instrumen SRBI tercatat Rp666,53 triliun. Kemudian SVBI dan SUVBI masing-masing US$2,03 miliar dan US$935 juta.
Dalam pernyataannya di konferensi pers siang ini, nada yang keluar dari penjelasan Perry terkesan hawkish. Perry menyebut, penguatan dolar AS buntut dari tingginya yield US Treasury di tengah divergensi kebijakan moneter negara maju dan masih tingginya ketegangan politik membuat ketidakpastian keuangan global tetap tinggi.
"Dolar akhirnya menguat sehingga tekanan nilai tukar terjadi di mata uang dunia serta menahan aliran modal asing di negara berkembang. Itu memerlukan respon kebijakan yang kuat untuk memitigasi rambatan ketidakpastian pasar keuangan global tersebut terhadap perekonomian di negara berkembang termasuk Indonesia," kata Perry.
(rui)