Logo Bloomberg Technoz

Secara sederhana, short sell bermula ketika investor memiliki ekspektasi harga sebuah saham akan turun. Namun, investor ini tidak memiliki saham tersebut.

Karena tidak memilikinya, investor kemudian meminjam saham ke pihak lain seperti broker. Kemudian, ia memasang posisi jual untuk saham yang dipinjamnya itu.

Karyawan melintas di depan layar pergerakan saham (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (16/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Ketika harganya turun, investor kemudian membeli kembali saham tersebut. Selisih antara harga jual dengan harga beli itu yang menjadi keuntungan atas pertaruhan yang dilakukan investor tersebut.

Usai mendapat keuntungan, investor tersebut kemudian mengembalikan saham yang sebelumnya dipinjam.

Berisiko hingga Unsur Riba

Penerapan short sell juga tidak sederhana. Hasan Zein menerangkan, short sell harus ditopang oleh pasar lending and borrowing, pinjam meminjam saham. Tanpa segmen lending and borrowing, short selling dipaksa menjadi spekulasi intraday.

"Margin trading, short selling, lending and borrowing melibatkan unsur bunga di dalamnya. Jual beli plus riba."

Chief Marketing Officer (CMO) Jarvis Asset Management Kartika Sutandi secara terpisah mengatakan, short sell kurang cocok diterapkan di pasar Indonesia yang free float sahamnya cenderung kecil.

"Kalau mau short sell yang beneran free float mesti nggak ada majority, cukup seperti majority 20-25% saja," ujarnya.

"Misalnya GOTO, itu boleh, atau yang majority shareholder tidak boleh ikutan jual beli (short). Seperti goverment banks jadi freefloat nya adil nggak ada yang besar gimana? Kalau nggak nanti bisa di kerjain."

Cuma memang, pembentukan harga dalam short sell menjadi lebih real, terlebih jika merasa saham digoreng bisa di-short. 

"Tapi kalau nggak punya barang malah bisa dikerjain sama ownernya. Daripada FCA aneh-aneh, buka saja batas bawah saham itu Rp1."

(ibn/dhf)

No more pages