Rupiah kini keluar sebagai mata uang Asia dengan pelemahan terdalam pagi ini, hingga 0,3%.
Hari ini, Bank Indonesia akan mengumumkan BI rate setelah dua hari terakhir menggelar Rapat Dewan Gubernur bulanan.
Konsensus ekonom yang dihimpun oleh Bloomberg masih memperkirakan BI rate akan ditahan di 6,25%. Namun, tekanan yang masih membebani rupiah dinilai bisa membawa ekspektasi kenaikan BI rate kembali bangkit.
Tekanan jual yang masih besar di pasar surat utang dan sinyal buruk dari lelang sukuk kemarin, sepertinya menjadi peringatan bagi Bank Indonesia.
Para investor asing semakin getol mengalihkan dana dari pasar surat utang dan domestik Indonesia, menyerbu aset-aset di pasar emerging market Asia lain seperti India, Thailand, Taiwan juga Korea Selatan.
Di kala rupiah terjatuh menjebol level psikologis terlemah sejak April 2020 pada Jumat pekan lalu (14/6/2024), investor asing mencatat posisi jual bersih (net sell) surat utang negara sebesar US$63,5 juta, sekitar Rp1,04 triliun.
Pada saat yang sama, pemodal global juga menjual saham sebesar US$44,4 juta. Tekanan jual di pasar saham berlanjut ketika pasar kembali buka pada Rabu kemarin (19/6/2024), di mana asing tercatat menjual US$43,4 juta saham.
Stance BI mungkin bisa berubah bila rupiah terus 'dibanting' oleh pasar hingga mendekati level psikologis baru yang dapat membawa dampak berbahaya bagi perekonomian secara keseluruhan. Rupiah yang terus melemah bisa memicu inflasi barang impor (imported inflation) yang bisa memantik lonjakan inflasi IHK.
"Rupiah ada dalam radar kami saat ini terutama dengan keputusan BI rate pekan ini. Secara teknikal, chart mingguan terlihat parabolic dan menunjukkan akan ada pelemahan lebih lanjut untuk rupiah yang seharusnya menjadi perhatian Bank Indonesia," kata Alex Loo, Macro Strategist di TD Securities, Singapura, pekan lalu.
Analisis terbaru dari Maybank juga melihat, ketidakpastian prospek fiskal pemerintahan baru sepertinya masih akan menjadi pemberat rupiah kendati menurut mereka aksi jual yang menimpa rupiah dan surat utang RI seperti yang terjadi pekan lalu, sudah terlalu berlebihan.
"Apabila hal ini terjadi [rencana menaikkan rasio defisit hingga 50%], maka itu menjadi kebijakan fiskal yang cukup ekspansif dan batas defisit anggaran sebesar 3% kemungkinan besar akan berisiko," komentar Winson Phoon, Head of Fixed Income Maybank di Singapura, dilansir dari Bloomberg.
Maybank memperkirakan BI masih akan mempertahankan lagi BI rate di 6,25%. "Namun, keseimbangan risiko mungkin bergerak ke 'kenaikan' bila rupiah semakin melemah ke Rp16.600-Rp16.750/US$ jelang pertemuan BI," imbuh Phoon.
Bank investasi asal Inggris, Barclays, juga masih mewaspadai potensi kenaikan BI rate bulan ini terutama bila rupiah semakin melemah ke kisaran Rp16.500-Rp16.600/US$. "Skenario dasar kami adalah BI rate ditahan lagi, namun bila rupiah semakin melemah ke kisaran itu, maka kenaikan BI rate mungkin terjadi," kata analisis Barclays yang dilansir oleh Bloomberg, Jumat pekan lalu.
Barclays masih berhati-hati terhadap rupiah dan surat utang RI dalam jangka pendek sembari menunggu kejelasan lebih terang kebijakan fiskal pemerintahan baru nanti. "Kenaikan rasio defisit hingga 50% akan dapat membawa defisit anggaran Indonesia naik ke 4%-6% dari PDB, di mana itu melanggar batas defisit yang diatur oleh hukum di Indonesia," kata Barclays.
Belum perlu naik
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi BI tetap menahan suku bunga acuannya pada bulan ini karena mempertimbangkan kondisi inflasi yang terkendali, posisi cadangan devisa RI yang membaik, hingga prospek keseimbangan eksternal yang terjaga.
"BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 6,25% pada RDG bulan Juni mengingat suku bunga acuan di level 6,25% saat ini masih konsisten untuk menjangkar ekspektasi inflasi serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," kata Josua.
Nilai cadangan devisa RI saat ini mungkin dianggap oleh BI masih cukup 'aman' menahan guncangan rupiah. Posisi cadev Mei telah bertambah US$2,8 miliar pada Mei lalu menjadi sebesar US$139 miliar.
Hal itu berbeda dengan kejadian April ketika BI mengejutkan pasar dengan menaikkan BI rate ke 6,25%. Kala itu, rupiah terperosok menjebol level Rp16.000/US$, sedang nilai cadangan devisa telah terkuras lebih dari US$10 miliar hanya dalam empat bulan saja.
Begitu juga pada Oktober 2023 saat BI rate tak terduga dinaikkan menjadi 6%, setelah berbulan-bulan ditahan. Ketika itu, sentimen higher for longer bunga global masih sangat kuat di mana yield Treasury sempat melambung tinggi ke 5%. Cadangan devisa RI juga sudah banyak terkuras hingga US$12 miliar hanya dalam lima bulan.
Selain kecukupan cadev, sinyal yang dilontarkan bank sentral juga masih positif. Pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo terakhir melontarkan kepercayaan diri bahkan ketika rupiah telah menjebol level psikologis pada Jumat lalu. "Rupiah kita sangat stabil, salah satu yang terbaik di dunia," kata Perry saat ditanya jurnalis terkait kejatuhan rupiah melampaui Rp16.300/US$.
Kenaikan BI rate lebih lanjut akan memukul perekonomian menjadi semakin melambat dengan konsumsi masyarakat dapat semakin tertekan.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui)