Dia membantah rencana penaikan HET itu bakal membuat minyak goreng rakyat kemasan sederhana tersebut kalah saing dengan migor premium.
“Enggak [khawatir Minyakita bersaing dengan harga minyak goreng premium] karena kan dahulu rupiah Rp14.500/US$, sekarang sudah Rp16.400/US$. Nanti dikhawatirkan, kalau [HET] enggak disesuaikan, ekspornya akan [turun] jauh,” terangnya.
Sekadar catatan, rerata harga nasional minyak goreng kemasan sederhana di tingkat perdagangan eceran hari ini adalah Rp17.950/liter atau turun 0,50% dari pekan lalu. Angka itu mengacu pada data Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 12:35 WIB, Rabu (19/6/2024).
Terkait dengan hal itu, dia juga memastikan tidak akan mengubah skema wajib pasok pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) CPO untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku minyak goreng di dalam negeri.
Pengaturan kebijakan DMO yang tengah berlaku saat berlandaskan kinerja ekspor CPO. Rasio ekspor 1:4 dalam kebijakan ini membuat produsen CPO dapat melakukan ekspor dengan empat kali volume dari penyaluran DMO mereka.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) sebelumnya menilai wacana kenaikan atau penyesuaian HET Minyakita memang sudah sepatutnya disesuaikan dengan pergerakan harga riil minyak kelapa sawit.
Ketua Umum GIMNI Sahat M. Sinaga mengatakan kenaikan HET Minyakita merupakan langkah yang diperlukan, mengingat belakangan ini telah terjadi peningkatan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani kelapa sawit.
Terlebih, bila pemerintah tetap berpegang pada kebijakan DMO CPO untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng.
"Dengan model DMO seperti yang diberlakukan sekarang, tetap saja seperti yang lama, kenaikan harga ini penting karena telah terjadi kenaikan harga TBS dari petani sawit, maka harga CPO juga ikut naik," kata Saat.
"Jangan keliru, produsen minyak goreng rakyat [Minyakita] ini 95% adalah seperti tukang jahit saja, dan tidak punya kebun sawit. Jadi kalau harga CPO naik, ya harga jual juga naik," jelasnya.
(prc/wdh)