Persoalan Upah
"Beberapa tahun yang lalu kan, dengan kenaikan upah minimum yang demikian tinggi, sebenarnya memberi sinyal bahwa kita tidak terlalu welcome dengan padat karya. Akibatnya kan kita ditinggalkan. Nah, sekarang dengan upah minimum yang lebih terkontrol, kita berharap bahwa kita bisa memberi sinyal [kepada investor] bahwa kita masih membutuhkan padat karya," jelasnya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja juga menyebutkan perihal relokasi pabrik. Menurutnya, relokasi pabrik di dalam negeri bukanlah penyebab sulitnya penyerapan tenaga kerja industri TPT, terlebih dengan diterapkannya automasi di sektor tersebut.
"Relokasi industri seharusnya dapat menyerap tenaga kerja. Automasi tidak menjadi penghalang dikarenakan masih terbuka lapangan pekerjaan bagi tenaga ahli permesinan, khususnya untuk [menunjang program] Industry 4.0," kata Jemmy.
Menurut Jemmy, faktor yang menghambat penyerapan tenaga kerja di sektor TPT adalah turunnya permintaan pasar sehingga mengakibatkan anjloknya utilisasi pabrikan tekstil.
"Turunnya utilisasi [pabrik] menyebabkan berkurangnya mesin yang digunakan untuk produksi, sehingga perusahaan terpaksa melakukan efisiensi jumlah tenaga kerja untuk mesin yang masih berjalan," jelasnya.
Dengan demikian, menurut Jemmy, seharusnya relokasi pabrik justru lebih memperkuat daya saing industri TPT nasional, karena upah pekerja yang harus dibayarkan berkaitan erat dengan arus kas perusahaan. Makin tinggi upah yang menjadi beban perusahaan, makin turun daya saing industrinya.
"Relokasi pabrik sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dan umumnya pabrik pindah ke Provinsi Jawa Tengah yang secara upah minimunnya lebih murah dibadingkan dengan upah minimum di provinsi lainnya," tegasnya.
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, industri TPT merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar setelah makanan dan minuman (mamin) di industri manufaktur. Kontribusinya per tahun mencapai lebih dari 3 juta pekerja atau hampir 20% dari total serapan tenaga kerja nasional.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini dilanda kemalangan seiring dengan badai PHK yang berbanding lurus dengan makin turunnya permintaan.
Pada awal 2023, jumlah korban PHK di Indonesia menembus 13.634 orang. Tak hanya itu, korban PHK terbanyak saat itu tercatat berasal dari wilayah Jawa Barat sejumlah 5.603 orang, disusul Jawa Tengah 4.887 orang. Kedua provinsi tersebut diketahui merupakan basis industri TPT di Tanah Air.
Sepanjang Januari hingga Mei 2024, akumulasi pekerja sektor industri TPT yang menjadi korban PHK mencapai 10.800 orang, menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), yang dilakukan oleh 5 perusahaan a.l. PT Sae Apparel, PT Sinar Panca Jaya, PT Pulomas, PT Alenatex, dan PT Kusuma Grup.
"Penyebab terjadinya PHK adalah karena order turun sampai tidak ada order sama sekali, baik ekspor maupun lokal," kata Presiden KSPN Ristadi.
Selanggam dengan penjelasan Jemmy, Ristadi menyebut penyebab industri TPT lokal makin sulit bertahan hingga memutuskan pemangkasan tenaga kerja juga dipengaruhi oleh gempuran produk-produk tekstil, khususnya asal China.
"Akibatnya produk tekstil dalam negeri tidak bisa laku karena kalah harga jual," ungkapnya.
(prc/wdh)